Oleh: Zuhad Aji Firmantoro (Dosen Universitas Al- Azhar)
Beritamerdekaonline.com – Panggung perhelatan Munas KAHMI Ke XI di Palu telah usai, menyisakan banyak catatan kritis. Forum tertinggi organisasi dalam siklus 5 tahunan yang digelar mulai 24-27 November 2022 itu memang berjalan tertib dan menghasilkan sembilan presidium nasional. Namun dibalik itu, tercecer noktah etik yang dapat mencoreng sejarah kemuliaan KAHMI sebagai organisasi pengabdi yang bernafaskan islam.
Noktah itu tersaji secara telanjang dalam pemilihan Presidium Nasional. Suasananya sangat pragmatis, tercium aroma transaksional dan nuansa politik uang. Para kandidat tidak hanya bisa maju dengan modal gagasan, kenegarawanan, dan prinsip keadaban, tetapi tampaknya juga harus siap dengan modal kapital untuk mendulang suara.
Imbauan Prof. Mahfud MD, Ketua Dewan Pakar yang juga mantan Koordinator Presidium Majelis Nasional KAHMI, agar Munas berjalan secara demokratis dan sportif, menghindari teror dan manipulasi serta politik uang, seolah jauh panggang dari api. Pesan moral untuk menjaga idealisme KAHMI seperti yang diserukan oleh Menko Polhukam itu nyaris tak tercermin di lapangan Munas.
Faktanya, sejumlah kandidat mengeluh dengan proses pemilihan yang tercipta serupa “pasar gelap”. Semangat untuk menjadi bagian dari sembilan presidium KAHMI perlahan-lahan meredup karena ditengarai setiap suara mesti punya harga tertentu. Visi dan gagasan tak lagi menjadi variabel yang berharga, nyaris tak mendapat tempat di panggung Munas KAHMI yang sejatinya mulia dan terhormat.
Situasi ini sungguh menyedihkan. Peradaban insan cita yang berdiri diatas latar etik dan nilai keadaban, tergerus oleh abrasi pragmatisme untuk tidak mengatakan transaksionalisme.
Munas benar-benar tereduksi sekedar arena pertarungan para politisi menjelang 2024. Padahal sebagai alumni HMI kita membayangkan, Munas KAHMI adalah ajang adu ide gagasan, ajang adu visi kenegaraan dan keumatan para cendekia/raushan fikr yang berhimpun di KAHMI. Apalagi ditengah kompleksitas persoalan kebangsaan, harusnya KAHMI turun memberikan pandangan alternatifnya. Namun bayangan itu sirna, sekedar fatamorgana dan halusinasi.
Mereka yang terpilih pun kesemuanya adalah para politisi dan satu pengusaha. Tidak ada tempat bagi kaum cendekia dari latar belakang akademisi dan profesi lainnya. Bahkan tidak ada satupun perwakilan dari unsur perempuan. Tujuan KAHMI yaitu “Terhimpunnya alumni HMI yang memiliki kualitas insan cita dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT” sama sekali tidak tercermin di Munas itu. Sulit rasanya membayangkan KAHMI sebagai benteng moral dan etik serta kiblat persatuan umat di tengah potret buram seperti itu.
Hasil Munas yang menghasilkan para politisi senayan duduk di Presidium Nasional itu juga cacat secara yuridis. Hal itu mengacu pada pasal 9 Anggaran Rumah Tangga KAHMI yang menyatakan “Presidium Majelis Nasional terdiri dari 9 (sembilan) orang, sedapat mungkin mencerminkan kewilayahan dan kompetensi atau profesi anggota KAHMI”. Raison d’etre rumusan pasal tersebut untuk menghormati berbagai golongan yang ada dalam keanggotaan KAHMI. Celakanya basis yuridis itu dicampakkan di lorong gelap sejarah.
Tidak terakomodirnya keterwakilan perempuan di Presidium Nasional KAHMI juga menjadi preseden buruk. Padahal, dalam daftar calon terdapat 6 kandidat perempuan. Fakta ini mempertontonkan abainya KAHMI pada isu kesetaraan gender yang telah lama diperjuangkan oleh para pegiat HAM, yang banyak diantaranya adalah alumni HMI. Hasil Munas ini jelas menggugat kepekaan warga KAHMI terhadap konsep afirmatif berbasis gender.
Jika menggunakan pendekatan demokrasi, semua fakta diatas adalah bentuk pembajakan demokrasi oleh para politisi. Hal inilah yang membuat beberapa alumni HMI kecewa, bahkan ada yang menyatakan keluar dari KAHMI seperti Dokter Muzammil Fikri Suadu (Ketum MP KAHMI Malaysia). Sementara Nazar Nasution, salah seorang eksponen HMI angkatan 66, Sekjen PB HMI Era Nurkholis Majid, yang sekaligus saksi sejarah pembentukan KAHMI, pada Kongres HMI ke-8 di Solo, tahun 1966, menyatakan kekecewaan mendalam.
Bagi Nazar, KAHMI adalah wadah intelektual muslim yang perlu berperan strategis demi persatuan serta kemajuan umat dan bangsa Indonesia. KAHMI seharusnya tidak terkotak kotak sebagai dampak dari pertarungan politik. Sebaliknya, menurut Nazar, alumni HMI justru harus lebih berperan demi terwujudnya persatuan bangsa. KAHMI karenanya, tidak hanya menghimpun para politisi, tetapi juga kalangan akademisi/birokrat yang merupakan potensi penting di lingkungan KAHMI, termasuk kalangan praktisi yang terdiri dari para pengusaha, birokrat, profesional, dokter, pengacara, LSM dan lain-lain.
Artinya, semua elemen/para cendekia dari berbagai latar belakang profesi yang berada di KAHMI harusnya terwakili secara seimbang dan proporsional dalam Presidium Nasional KAHMI. Jika tidak, KAHMI justru akan terjerembab menjadi teladan buruk bagi persatuan umat. Menjadi contoh kelabu bagi kohesi sosial keumatan dan kebangsaan yang selama ini dijaga oleh para senior pendahulu.
Kita tentu tidak mengharapkan kekecewaan yang meluap pasca Munas ini akan melahirkan perpecahan di tubuh KAHMI yang berujung pada lahirnya entitas kepengurusan KAHMI lainnya. Sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2002 lalu. Pada Munaslub yang digelar di Yogyakarta, KAHMI pecah menjadi dua. Satu kubu menbentuk Pimpinan Majelis Nasional KAHMI, yang diketuai Fuad Bawazier, dan satu kelompok membentuk presidium, yang dipimpin oleh Asri Harahap.
Dualisme kepengurusan tersebut baru berhasil Islah setelah 6 tahun berselang.
Bila kekhawatiran itu terjadi, maka KAHMI tidak lagi punya basis moral dan etik untuk menyeru bersatunya dualisme HMI Dipo dan MPO yang selama ini justru memperlihatkan sinyal-sinyal positif. Selamatkan marwah KAHMI dari Pembajakan Demokrasi para politisi.
Penulisan merupakan alumni HMI dan mantan Ketua PB HMI
Jangan sampai HMI diplesetkan menjadi hamba manusia istana. Ukuran kd erhasilannya fari pimpknan manapun antara lain mampu memadukan tiga variabel keilmuan dan IPTEK/IMTAK, “knowledge-innovative- creative”. Bila kaidah disiplin prihatin rajin ( DPR) maka YAKUSA tak akan terwujud. Jadi boleh jadi HMI/KAHMI akan mengarah hanya sebagai ” Warung Sampireun”.
(Aku, 79, ngaji lagi di G. Ciremai. TEMAN MR. NN di Solo 1966. Hapunteen sadayanya karena tak mampu ngerewong di PALU).