Beritamerdekaonline.com, Jakarta – Kuasa hukum Johny M Samosir, Gunawan Raka menyampaikan bantahan terhadap kliennya yang menjadi terdakwa atas dugaan penggelapan.
“Harusnya terdakwa dilakukan pengajuannya di locus delicti berdasarkan pengajuan eksepsi relatifnya,” kata Gunawan, di Pengadilan Negeri, Jakarta Pusat, rabu (15/3/23).
Lanjutnya, saksi terdakwa terbanyak dan dimana terdakwa terakhir ditemukan serta dimana terakhir terdakwa ditahan.
“Berdasarkan surat dakwaan tersebut tidak masuk (red: tidak memenuhi). Ada 27 saksi dan sebagian besar ada di Konawe. Harusnya pengajuan itu di Pengadilan negeri Konawe,” ungkap Gunawan.
Padahal berdasarkan pertimbangan saksi sebagian lagi saksi menyebar di Jakarta, China, Lampung dan daerah lainnya.
“Itu berdasarkan kedudukan saksi. Dan ada lagi berdasarkan kedudukan tempat tinggal. Terdakwa tinggal di Jakarta Selatan ya, harusnya di Jakarta Selatan,” kata Gunawan.
Adapun alasan Jaksa, kata Gunawan mengajukan perkara berdasarkan alamat perusahaan.
“Itu kan ngawur, KPP (red: PT Konawe Putra Propertindo), itu dulu beralamat di Jakarta Pusat. Tapi sejak tahun 2020, itu (red: KPP) sudah beralamat di Pluit. Dan itu sudah pemberitahuan melalui dirjen AHU dan pengumuman di koran,” jelasnya.
Menurut kuasa hukum, dari sisi pengajuan terdakwa ke pengadilan negeri Jakarta Pusat. “Itu, keputusan yang tidak beralasan,” pungkasnya.
Pihaknya menilai PT KPP dan PT VDNI (Virtue Dragon Nickel Industry) saat ini saling menggugat.
“Ini jelas masuk ranah perdata, gugat-gugatan, dan itu teregistrasi di 209 dan sekarang kasasi di tingkat Mahkamah Agung,” tandasnya.
Objek Perkara
Sebelumnya, mantan Wakil Kepala Badan Reserse Kriminal (Wakabareskrim) Polri Irjen Pol (Purn) Johny M Samosir ditahan Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
Sebab, kasus dugaan penggelapan atas berkas perkara dari penyidik Bareskrim Polri No BP/49/VI/2021/Dittipidum tanggal 25 Juni 2021.
Pria kelahiran Pematang Siantar 15 Desember 1957 itu ditahan sebagai jabatannya Direktur PT Konawe Putra Propertindo.
Gunawan Raka menjelaskan, PT Konawe Putra Propertindo merupakan perusahaan pembangun dan perintis Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Konawe di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara sejak tahun 2013.
PT Konawe Putra Propertindo diundang oleh Pemerintah Kabupaten Konawe untuk berinvestasi dalam pembangunan kawasan Industri diatas lahan seluas 5.500 hektar.
“Perizinan dan rekomendasi telah dimiliki oleh Klien kami (PT.Konawe Putra Propertindo) dalam mengelola kawasan industri Konawe dan telah berhasil membebaskan lahan (lebih kurang) seluas 730 hektare,” ujarnya.
Investasi termasuk membangun infrastruktur seperti membangun jalan sepanjang 32 km, Pelabuhan dan lain lainnya untuk dapat bisa menjadi Kawasan Industri dalam waktu 8 bulan sejak berinvestasi.
PT. KPP sebagai perintis dan pembangunan kawasan industri konawe pada tahun 2015 Tgl 30 MARET mendapatkan tenant pembelian lahan seluas 500 ha untuk pembangunan smelter nikel yaitu PT. VDNI ( Virtue Dragon Nickel Industry) dengan perjanjian PPJB No. 65 di hadapan notaris Achmad.
Bahwa dalam perjalanannya direktur utama PT. KPP ( periode 2014 – 2018) sdr. Huang zuo chao WNA RRT menghilang dan mengabaikan tanggung jawab pada perusahaaan sejak maret 2018. Melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) direksi dan direktur utama Huang Zuo Chao diberhentikan dengan notulen rapat pertanggungjawaban pengelolaan perusahaan belum diterima oleh pemegang saham dan bersamaan pemegang saham KPP mengangkat Drs. Johny M Samosir sebagai direktur utama menggantikan saudara Huang Zuo Chao.
Pemegang saham sepakat bahwa Tindakan Huang Zuo Chao (HZC) menghilang dan membawa semua dokumen serta surat- surat tanah PT. KPP merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang dan merugikan perusahaan.
Sebab itu, Johny M samosir sebagai direksi baru PT. KPP ( september 2018 – sekarang) melaporkan dugaan tindak pidana penggelapan dan penyalahgunaan jabatan terhadap (HZC) di polda Sulawesi tenggara pada tahun juni 2019.
Laporan tersebut berujung pada penetapan 2 (dua) orang tersangka WNA yaitu HZC dan Wang Bao Guang (WBG) dan terbit red notice oleh interpol atas kedua tersangka tersebut.
Penyidik Polda Sulawesi Utara (Sultra) mengendus ada transaksi mencurigakan di rekening KPP uang sejumlah puluhan miliar dari suatu perusahaan bernama PT. VDNIP pada tgl 28 maret dan pada hari itu juga dana tersebut di transfer keluar negeri (rek bank china) oleh HZC.
Diduga kuat rekening PT. KPP dijadikan alat pencucian uang. Dugaan tersebut dikuatkan lagi setelah ada informasi dari beberapa kepala desa di kawasan industri konawe bahwa ada oknum suatu perusahaan yang menyodorkan surat jual beli bawah tangan tertanggal 28 maret 2018 atas aset tanah PT KPP sekitar awal bulan mei 2018.
Kepala desa, mencurigai surat jual beli yang penuh keganjilan dan tidak sesuai dengan kaidah jual beli yang baik, benar dan terbuka sesuai hukum dan aturan negara Indonesia. Sadar sudah diperalat delapan kepala desa telah membuat suatu surat resmi untuk pembatalan atas tanda tangan pejabat desa pada jual beli tersebut.
Surat-surat pembatalan kepala desa tersebut menjadi bukti pada penyelidikan Polda Sultra. Menurut SP2HP secara lisan maupun tulisan kepada klien, berkas kasus tersebut siap diajukan ke kejaksaan, tinggal melakukan pemeriksaan terhadap saksi bernama Zhu Min Dong yang merupakan pimpinan dari PT VDNIP.
Namun, yang bersangkutan mangkir terus atas panggilan Polda Sultra.
Nahas bagi PT. KPP laporan yang sudah berujung red notice dan permintaan P to P kepolisaan RI kepada kepolisian China untuk pemeriksaan tersangka Huang Zuo Chao dan Wang Bao Gung ditarik ke Bareskrim pada september 2020 .
Dan yang paling parahnya alasan penarikan tersebut atas laporan dumas di biro Wasidik oleh perusahaan bernama PT VDNIP. Padahal dalam laporannya bukan terlapor.
“Alasan yang klient kami terima pada saat gelar perkara adalah karena PT VDNIP akan menjadi calon tersangka jadi berhak menjadi Pengaduan Masyarakat (Dumas).
Pada akhir bulan desember 2020 Direksi PT. KPP dilaporkan pasal penggelapan oleh suatu perusahaan bernama PT. VDNIP ke Dittipidum Bareskrim Polri. Yang mengaku telah membeli aset PT.KPP melalui Huang Zuo Zhao dengan dasar suatu surat perjanjian bawah tangan dengan judul ” perjanjian 001 seluas 325 hektar dan perjanjian 002 seluas 25 hektar. Atas dasar perjanjian dan adanya bukti transfer sebesar 95 Miliar ke rekening perusahaan PT.KPP (yang pada saat tanggal tersebut dikuasai oleh mantan Dirut Huang Zuo Chao).
Pada saat penyelidikan atas kasus tersebut di atas, Johny menyampaikan bahwa pemegang saham dan organ perusahaan PT. KPP pada bulan maret 2018 tidak pernah mengetahui dan menyetujui adanya perjanjian bawah tangan 001 dan 002 yang menjual aset tanah PT KPP secara merugikan dan tidak sesuai dengan kaidah hukum jual beli yg benar kepada PT VDNIP.
Adapun soal adanya transfer senilai 95 Miliar yang dianggap sebagai bukti pembayaran.
“Tidak ada satu sen pun diterima oleh pemegang saham. Dana tersebut hanya masuk dan singgah selama 2 jam pada rekening bank PT KPP dan pada hari yg sama di transfer keluar ke sebuah rekening di luar negeri (red: rekening bank di RRT) oleh mantan dirut Huang zuo chao,” katanya dalam keterangan tertulis.
Inti dari laporan kepada direksi baru PT.KPP di atas adalah bahwasanya PT. VDNIP melalui perjanjiaan bawah tangan 001 telah membayar sejumlah 95 M ke rek PT.KPP , sebahagian besar surat tanah dari luas 325 ha sudah di terima oleh PT.VDNIP dari mantan dirut huang zuo chao dan ada 64 sertifikat ( seluas 32 ha ) yang masih belum di serahkan oleh sdr.huang zuo chao dan dengan laporan ini direksi baru yaitu bapak johny samosir diaggap menggelapkan 64 sertifikat tersebut karena menyimpan dan tidak menyerahkan kepada PT.VDNIP.
Atas tuduhan menyimpan 64 Surat Hak Milik (SHM) tersebut secara jelas terdakwa sudah menyampaikan kepada penyidik sebagai berikut :
1. 64 SHM tersebut merupakan pemgembaliaan dari Polres konawe kepada PT.KPP melalui notaris Sabril syahbirin SH sekitar bulan desember 2019. Secara hukum direksi yang baru yaitu Johny Samosir menerima pengembalian SHM tersebut.
2. Ke 64 SHM tersebut di serahkan ke Polres Konawe oleh mantan Dirut Huang Zuo Chao melalui kaki tangannya sekitar bulan maret 2018.
3. Ke 64 SHM tersebut belum sepenuhnya milik PT KPP, masih ada hak masyarakat pemilik awal karena KPP hanya membeli sebahagian dari tanah masyarakat. Masyarakat menunggu pemecahan sertifikat tersebut.
4. Ke 64 SHM tersebut sebelumnya berada di tangan Polres konawe karena adanya laporan masyarakat pada bulan february 2018 atas dugaan penggelapan oleh PT.KPP.
5. Hasil penyelidikan Polres Konawe tidak ada unsur penggelapan yang dilakukan oleh PT KPP, karena sertifikat masih utuh dan tidak pernah diperjual belikan oleh PT KPP.
6. Karena tidak ada unsur penggelapan, Ke 64 SHM tersebut dikembalikan kepada PT KPP melalui seketaris Huang Zuo Chao yaitu Christina Metty dengan syarat ke 64 SHM tersebut harus segera dipecahkan agar bisa di kembalikan haknya masyarakat. Tugas pemecahan tersebut di serahkan kepada notaris Sabril Syahbirin di kabupaten Konawe.
Dari fakta- fakta diatas kuasa hukum sudah meminta pertimbangan penyidik Dittipidum Polri untuk lebih cermat bahwa perjanjian jual beli ini penuh konspirasi, bukan jual beli tanah yang baik dan benar layaknya dua perusahaan besar di mata hukum antara lain adalah:
1. Apakah perjanjian bawah tangan dan jual beli bawah tangan yg menjadi dasar pelaporan sudah sah menurut hukum jual beli di Indonesia. Apakah sudah memenuhi unsur jual beli tunai, jujur dan terbuka tidak merugikan hak org lain.
2. Apakah tidak ada kecurigaan penyidik dalam melakukan crime investigation bahwa tidak ada persetujuaan atau Rups pemegang saham PT KPP atas perjanjiaan 001 dan 002 yang ditanda tangani manta direktur PT KPP dan PT VDNIP.
3. Fakta bahwa lahan PT. KPP sebelumnya terikat jual beli dengan perusahaan bernama PT.VDNI dalam ppjb nomor 65 seluas 500 hektar. Bagaimana lagi bisa menjual lahan seluas 325 hektar. Sudah di luar kemampuan perusahaan. Tidak mungkin menjual tanah 2 kali. Apalagi masih ada hak masyarakat dalam sebahagian surat-surat tanah PT KPP (64 sertifikat)
4. fakta backdate dan tanda tangan yg tidak benar pada perjanjiaan 001 dan 002 tersebut, serta bukti-bukti dari pejabat desa yang memberikan keterangan surat resmi bahwa jual beli diatas tidak sah dan tidak benar.
5. Seharusnya yang menjadi tersangka pada masalah ini adalah Huang Zuo Zhao yang berhubungan dengan PT VDNIP.
6. Kenapa malah PT.VDNIP tidak melaporkan Huang Zuo Chao pada antara bulan maret sampai dengan september setelah perjanjiaan 001 dan 002 karena tidak memenuhi dokumen tanah yg di perjual belikan dan dokumen pendukung lainnya. Dan malah jelas PT.VDNIP dan mabes Polri melindungi Huang Zuo Chao dengan menghentikan atau SP3 atas laporan PT KPP atas mantan dirutnya (Huang Zuo Chao)
7. Apakah penyidik dan kejaksaan sudah mempertimbangkan batas-batas hak dan tanggung jawab seorang direksi dan pemegang saham sesuai dengan undang- undang perseroaan. Jelas sekali sesuai undang- undang perseroan tanggung jawab yang mengikat ke suatu perusahaan beserta organnya ada dalam ranah perdata bukan pidana atas siapapun direksi PT KPP . Artinya jgn sampai setiap org yg menjabat direksi KPP terancam pidana , bukan karena perbuataannya tetapi hanya karena posisi kedudukannya.
Jelas dari fakta diatas bahwa tidak ada unsur niat jahat dan penggelapan yang dilakukan oleh Johny M Samosir sebagai seorang mantan Wakabareskrim Polri yang tentu saja mengerti hukum pidana.
“Ada apa ini dengan penegakan hukum di Mabes Polri? Jangan-jangan ada oknum pejabat tinggi di kepolisian berkonspirasi kelas tinggi dengan PT VDNIP untuk menguasi aset tanah dan pelabuhan PT KPP di kawasan Industri Konawe dengan memenjarakan Dirut Johny M Samosir,” pungkasnya.(@ms)