Oleh : Tawati (Aktivis Muslimah dan Revowriter Majalengka)
Mudik adalah waktu yang selalu ditunggu-tunggu setiap tahunnya ketika menjelang atau pasca lebaran oleh masyarakat di perkotaan untuk bisa pulang ke kampung halaman. Berbagai moda tranportasi pun digunakan, baik darat, laut dan udara demi bisa pulang ke kampung halaman.
Kerinduan kepada kampung halaman, bisa bertemu orang-orang tercinta, sanak keluarga atau pun kawan yang telah lama tidak bersua merupakan suatu kebahagiaan. Namun, sangat disayangkan, setiap tahun mudik selalu meninggalkan cerita yang memilukan.
Korlantas Polri mencatat telah terjadi 273 kali kecelakaan pada Hari Raya Idul Fitri 1444 H, Sabtu (22/4). Total meninggal dunia sebanyak 30 orang, 45 orang luka berat dan 378 orang lainnya luka ringan. Hal itu disampaikan oleh Juru Bicara Polri dalam Operasi Ketupat 2023 Kombes Pol Erdi Adrimurlan Chaniago saat jumpa pers, Minggu (23/4) lalu.
Total kecelakaan periode 18-21 April adalah berjumlah 933 kejadian, kecelakaan selama enam hari Operasi Ketupat total yaitu 1.206 kecelakaan. Total korban jiwa 83 orang, dengan rincian 55 orang.
Sangat memprihatinkan, angka kecelakaan dari tahun ke tahun memang selalu meningkat, dan terus terjadi berulang, ratusan jiwa melayang. Tersebab mahal, transportasi lebaran jauh dari sebutan aman dan nyaman.
Harga tiket pesawat pun sangat mahal sehingga publik beralih dari angkutan udara yang relatif lebih aman ke angkutan darat dan laut dengan berbagai resiko, di samping tingginya pengguna kendaraan roda dua yang tentu saja sangat rawan kecelakaan.
Saat kemampuan kocek tak sanggup menjangkaunya, maka pilihan menggunakan roda dua menjadi solusi. Inilah buah pahit liberalisasi transportasi publik yang berlangsung di tangan rezim neolib hari ini, khususnya transportasi lebaran.
Liberalisasi transportasi publik pada aspek infrastruktur nampak dari maraknya pembangunan jalan raya berbayar. Sedangkan jalan raya nasional, provinsi hingga desa yang menjadi kebutuhan publik, banyak yang tak terperhatikan. Demikian pula tampak dari maraknya pembangunan bandara dan pelabuhan internasional yang semua itu berbayar mahal.
Alih-alih melayani, rezim berkuasa malah menfasilitasi korporasi dan negara penjajah, menjadikan publik sebagai objek eksploitasi bisnis dan berbagai kepentingan politik mereka.
Adapun dampak liberalisasi moda/angkutan transportasi yang sangat dirasakan pada liburan lebaran adalah kenaikan harga tiket pesawat yang diluar daya beli masyarakat umumnya. Padahal, angkutan udara menjadi andalan para pemudik. Sebab, selain lebih terjamin keamanan dan nyaman, angkutan udara lebih cepat mengantarkan ke tempat tujuan.
Selain itu harga tiket angkutan kereta api, bis dan kapal juga tidak dapat dikatakan murah. Jalan-jalan raya berbayar yang dibangun juga tidaklah didesain untuk memenuhi hajat hidup publik, termasuk hajat publik terhadap infrastruktur jalan raya ketila liburan lebaran dengan peningkatan signifikan volume kendaraan.
Akibatnya macet parah di sejumlah titik hingga puluhan kilometer dan puluhan jam harus ditanggung masyarakat. Penderitaan yang dialami luar biasa, mulai dari kepanasan berjam-jam, tidak ada fasilitas istirahat hingga buruknya fasilitas toliet.
Inilah fakta transportasi publik di era neoliberal, yang tunduk pada agenda hegemoni globalisasi liberalisasi. Perannya sebagai regulator menjadikan nasib jutaan pemudik dalam undian nafsu serakah kaum kapitalis. Yang tersisa hanyalah derita tahunan bagi jutaan orang.
Sungguh fakta ini tidak akan pernah terjadi dalam sistem kehidupan Islam. Karena penguasa dalam sistem Islam bukan sebagai regulator bagi kepentingan korporasi dan agenda liberalisasi penjajah. Penguasa membangun jalan-jalan raya yang luas dan nyaman untuk memenuhi transportasi publik hingga ke pelosok negeri.
Moda angkutan disediakan secara memadai dan diberikan secara cuma-cuma. Jaminan keamanan, kemanusiaan serta kenyamanan diperuntukan untuk semua orang, bahkan bagi hewan sekalipun. Kunci semua itu adalah saat penguasa hadir sebagai pelaksana syariah secara kafah.
Dalam sejarah pemerintahan Islam terkenal pemimpin Umar Ibnu Khatab dengan ketegasan, keberanian, sekaligus kelembutan hatinya. Di antara bukti kelembutan hati Umar, dapat dilihat adanya rasa khawatir dan takut, jika kelak di hari kiamat akan ditanyai dan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.
Mengapa sebagai pemimpin membiarkan jalan di pegunungan lrak dalam keadaan buruk dan berlubang? Khalifah Umar bin Khaththab r.a, pernah berkata : “Aku sangat khawatir akan ditanya Allah SWT kalau seandainya ada keledai terpeleset di jalanan di Irak, kenapa aku tidak sediakan jalan yang rata”.
Umar khawatir apabila kondisi jalan akan menyebabkan korban jiwa. Sebagai pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, Umar memutuskan memperbaiki jalan tersebut yaitu jalan di pegunungan Irak yang sebenarnya jauh dari pusat pemerintahan khalifah yang terletak di Madinah.
Apa yang dilakukan oleh Umar adalah bentuk pelayanan publik kepada masyarakat. Sebagaimana Undang Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik juga menyebutkan layanan dalam bentuk penyediaan jalan dan jembatan tergolong ruang lingkup barang publik.
Mekanisme yang dijalankan oleh Umar adalah membentuk unit atau lembaga yang disebut dengan Al-hisbah. Al-hisbah memiliki kontrol khusus terhadap perilaku atau kehidupan publik, menegakkan keadilan dan kebenaran.
Dalam melakukan pengawasan, Umar pernah mengutus petugas yang bernama Muhammad bin Musallamah untuk melakukan inspeksi mendadak (sidak) demi mendengarkan pengaduan masyarakat, atau memberikan beberapa nasehat terkait kebijakan pelayanan pemerintahan.
Dalam literatur ketatanegaran Islam, akan ditemukan pengawasan yang disebut fiqh siyasah, menghimbau kepada yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah kepada yang (mungkar) keburukan, mewujudkan ketertiban dalam penyelenggaraan pelayanan publik, atau mencegah adanya penyimpangan.
Apa yang dilakukan Khalifah Umar sebagai pemimipin kala itu menjadi inspirasi guna menggali keagungan ajaran Islam dalam menghayati amanah-amanah dalam pelayanan publik. Semoga penguasa hari ini tidaklah abai pada kewajibannya dalam melayani masyarakat.
Wallahu a’lam bishshawab.