Kunjungan Paus Ke Indonesia, Bagaimana Umat Katolik Yang Miskin Tidak Mampu Menyekolahkan Anaknya Di Perguruan Katolik Itu Sendiri ?

Opini Oleh : Peter

JAKARTA, BERITA MERDEKA Online – Tentunya bicara soal pendidikan tidak ada habis-habisnya. Mulai dari kurikulum yang silih berganti hingga sekolah idola atau favorit, dan ongkos yang sangat mahal setara tingkat SMP dan SMA. Rata-rata kebanyakan umat Katolik secara khususnya memilih pendidikan di Negeri atau Pemerintah. Hal itu dikarenakan pembiayaan bersekolah disana terjangkau dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Mengapa tidak memilih sekolah di Perguruan Katolik ?

Dari analisa penulis, banyak hal yang menjadi alasan mengapa orang Katolik sendiri harus sekolah di Negeri dan bukan di perguruan Katolik. Justru, jika Gereja Katolik telah membangun pendidikan atau sekolah, diharapkan mampu menampung anak-anak umat Katolik itu sendiri, yang akan menjadi penghuninya di sekolah tersebut. Namun, fakta dilapangan yang saya temukan, kebanyakan anak-anak jemaat Katolik itu sendiri memilih sekolah milik pemerintah. Itu dikarenakan, memilih sekolah pemerintah lebih berpotensi dan mampu mengakomodir jurusan yang diminati si anak, dikarenakan ongkos yang sangat mahal bersekolah di Perguruan Katolik sehingga anak memilih sekolah di Pemerintah, kendati anak tersebut adalah umat Katolik juga dan memiliki keabsahan atau bukti yang menyatakan anak itu adalah umat Katolik. Terdaftar sebagai umat Katolik bisa saja dilihat dari identitas agama seperti di kartu keluarga, memiliki surat baptis atau permandian, terdaftar resmi di salah satu paroki gerejanya disekitar sekolah Katolik itu sendiri.

Dari dua hal yang saya temukan itu, itulah kondisi saat ini yang terjadi. Bahwa banyak anak-anak umat Katolik itu sendiri, tidak bisa bersekolah dengan murah dan terjangkau di perguruan yang dilahirkan gereja itu sendiri. Analisa saya, ditemukannya seorang ibu di kota Yogyakarta yang semula menyekolahkan anaknya di perguruan Katolik, tiba-tiba harus memindahkan anaknya sekolah ke sekolah Negeri. Saat saya tanyakan mengapa harus pindah ? Itu dikarenakan ibu si anak tersebut tidak mampu melunaskan kewajiban yang sudah menunggak, seperti biaya SPP. Kondisi ibu itu pun secara ekonomi tergolong orang tidak mampu atau miskin. Ibu dan suaminya bekerja sebagai penjual Bak Mi, dan pekerjaan itulah yang memberikan nafkah bagi anak-anaknya yang saat ini bersekolah diberbagai perguruan.

Menurut ibu itu, anaknya wajib pindah sekolah dikarenakan tunggakan kewajiban SPP. Di sekolah itu, soal satu Iman atau Agama, tidak bisa menjadi indikator apakah anak itu bisa melanjutkan pendidikannya di Perguruan Katolik atau tidak. Intinya, adalah uang. Uang bisa menyelesaikan tunggakan kewajiban SPP, bukan agama. Padahal, anak itu sangat berkeinginan bersekolah di Perguruan Katolik. Kita ketahui bersama, bahwa dana bantuan dari pemerintah seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga diterima beberapa perguruan Katolik itu sendiri. Lantas, mengapa tidak bisa mengakomodir anak-anak kurang mampu untuk menempuh pendidikan di perguruan Katolik yang terbilang potensi dan hebat itu ?

Kondisi seperti ini menjadi dilema, apakah dunia pendidikan yang didirikan mengatasnamakan agama Katolik itu, tidak mengakomodir warga atau umatnya yang tidak mampu secara ekonomi bersekolah disana ?  Ataukah, sekolah itu didirikan untuk menampung keluarga yang ekonominya menengah ke atas ? Kondisi seperti ini sangat memilukan, bahwa umat Katolik itu sendiri tidak bisa mengayam pendidikan di sekolah yang dibangun atas nama gerejanya.

Kasih adalah landasan umat Kristiani secara umum dalam ajarannya. Mengandalkan kasih tanpa batas, sama seperti Yesus mengasihi umatnya tanpa pamrih. Sama seperti Allah Bapa yang mengasihi umatnya, dengan mengorbankan putera-Nya sendiri disalibkan diantara orang berdosa. Bukankan kasih menjadi landasan kita umat Katolik, bisa menolong mereka yang kondisinya demikian ? Bagaimana memperbaiki kondisi seperti ini ?

Anda atau kita bisa melakukan survey dan tanyakan kepada masyarakat yang khususnya beragama Katolik, perguruan atau yayasan pendidikan mana yang berpotensi menempah anak-anak bisa menjadi pintar dan hebat ? Pastinya, dia mengatakan perguruan Katolik itu sendiri. Bisa kita prediksi demikian. Lalu, apakah anak-anaknya saat ini atau kala itu, sekolah di perguruan Katolik ? Kalau iya, bisa dipastikan ekonomi keluarga mereka sudah mapan. Jika tidak, bisa dipastikan sebagian besar diantaranya tidak memilih perguruan Katolik dikarenakan ketidakmampuan biaya yang cukup mahal, walau itu setingkat mulai sekolah dasar, menengah hingga atas.

Saya berkesimpulan, siapakah yang berkompeten menjawab semua pertanyaan saya diatas ? Apakah Pastor, Uskup, Susterkah atau pimpinan tertinggi umat Katolik Paus ? Saya saja sebagai umat Katolik cukup heran dengan kondisi saat ini, sehingga menuliskannya sebagai bentuk kritikan saya untuk perbaikan pendidikan khususnya yang didirikan oleh Gereja Katolik. Karena menurut saya, secara finansial keuangan Katolik cukup atau luar biasa. Tentunya hal seperti yang saya utarakan diatas mampu diatasi, karena tidak menggerus keuangan Gereja Katolik yang besar.

Saya ketahui, bahwa pemimpin umat Katolik Paus Fransiskus dijadwalkan melakukan perjalanan ke sejumlah negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia pada September 2024 mendatang. Semoga hal ini ada yang tanyakan ke Paus sendiri, jika memungkinkan saya akan memberanikan diri pertanyakan hal ini. Kondisi ini harus diatasi, karena saya yakin dengan iman saya sendiri sebagai umat Katolik, pendidikan kita adalah contoh yang baik bagi yang lainnya. (***)

Loading

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *