Oleh Gunoto Saparie
SEMARANG, Berita Merdeka Online – Sesungguhnya wacana pembentukan Kementerian Kebudayaan bukanlah isu baru. Akan tetapi, wacana tersebut kembali menghangat setelah sempat disinggung dalam debat kelima calon presiden Pemilu 2024 pada awal Februari lalu. Ketika itu, Prabowo Subianto, yang saat ini telah ditetapkan sebagai presiden terpilih, menyetujui wacana kemungkinan pembentukan Kementerian Kebudayaan tersebut.
Kita tahu, pada akhir Desember 1945, atau sekitar 4,5 bulan setelah Indonesia merdeka, sejumlah budayawan, seniman, dan tokoh masyarakat menggelar musyawarah kebudayaan di Sukabumi, Jawa Barat. Salah satu hasil musyawarah itu merekomendasikan pembentukan kementerian kebudayaan yang berdiri sendiri. Akan tetapi, rekomendasi tersebut sampai hari ini belum terwujud.
Ada empat kata kunci pada pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan di atas, yakni pengarusutamaan, kebudayaan, pendidikan, dan pemajuan kebudayaan. Kata “pengarusutamaan” muncul hanya dua kali, yakni pada Pasal 7 (seperti dipaparkan di atas) dan penjelasannya. Pada penjelasan pasal 7 itu dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pengarusutamaan kebudayaan adalah strategi yang dilakukan secara rasional dan sistematis melalui perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan serta rangkaian program yang memperhatikan perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan kebudayaan.
Oleh karena itu, usulan mengenai pentingnya pembentukan Kementerian Kebudayaan terus digemakan. Bukankah ruang lingkup kebudayaan yang sangat luas menuntut lahirnya kementerian sendiri untuk mengelolanya. Tak mengherankan ketika usulan tersebut kembali disuarakan pada Kongres Kebudayaan Indonesia akhir 2023 dan sebelumnya dalam Musyawarah Nasional Dewan Kesenian dan Dewan Kebudayaan.
Mengacu pada pendapat Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid, pemikiran tentang perlunya Kementerian Kebudayaan sangat wajar mengingat kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Kebudayaan adalah salah satu urusan yang disebut dalam konstitusi di samping pendidikan dan kesehatan. Konferensi Mondiacult 2022 di Meksiko juga menegaskan kebudayaan merupakan barang publik (public good) yang sangat sentral dalam kehidupan manusia. Konferensi ini mendorong pemanfaatan kekuatan budaya dengan menunjukkan kontribusinya terhadap keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Hilmar Farid berpendapat bahwa dampak pembentukan kementerian kebudayaan terhadap pelaku budaya sangat positif. Wacana ini bukanlah sebatas penataan wilayah administratif dan pengaturan birokrasi semata. Karena dalam kaitan ini kita akan akan menempatkan seluruh aset dan sumber daya bidang kebudayaan di bawah satu atap.
Contohnya, saat ini jika kita ingin berkegiatan, seniman harus mendatangi dua atau tiga kementerian karena kewenangannya terbagi-bagi. Urusan di hulu terkait pendidikan dan peningkatan kapasitas, misalnya, berada di Kemendikbudristek. Pengembangan kebudayaan menjadi produk yang bernilai ekonomi berada di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Sementara jika produknya berbentuk wastra, batik, atau karya seni visual, urusannya di Kementerian Perindustrian. Sedangkan keperluan promosi ke luar negeri melibatkan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan. Ini berarti, jika di bawah satu atap, koordinasi segala sesuatunya dari hulu ke hilir. Jauh lebih efektif dan efisien.
Kementerian Kebudayaan boleh dikatakan kerangka untuk mewujudkan tata kelola institusi kebudayaan yang lebih baik. Selama ini kebudayaan ditempatkan bersama pendidikan di bawah Kemendikbudristek. Padahal, yang seharusnya diperkuat adalah pendidikan yang berkebudayaan, bukan membentuk satu unit yang menangani kebudayaan di kementerian yang menangani pendidikan. Kalau kebudayaan kita mengerti secara lebih spesifik sebagai ekspresi artistik, warisan budaya atau heritage, pengetahuan lokal, masyarakat adat, dan sebagainya, yang juga merupakan lingkup yang sangat luas, maka organisasi setingkat kementerian memang diperlukan.
Pernyataan Hilmar Farid memang perlu digarisbawahi. Menurut Hilmar, memajukan kebudayaan merupakan upaya terus-menerus yang tidak bisa diputus oleh siklus lima tahunan saat pergantian rezim kekuasaan. Ia mencontohkan Korea Selatan yang tetap konsisten pada tujuannya menjadi negara superpower dalam industri berbasis kebudayaan dan kreativitas. Pemerintah bertugas mendampingi dan mengawal dengan kebijakan, program, dan kegiatan, agar masyarakat dan pelaku budaya bisa berkegiatan.
Ini berarti, persoalan kebudayaan perlu dikelola lembaga khusus setingkat kementerian. Kita sangat menyayangkan ketika kebudayaan sering sekali dimaknai dalam arti sempit, misalnya sebatas kesenian. Padahal, budaya mencakup hal yang jauh lebih luas, mulai dari masalah pangan, lingkungan, adat istiadat, pengetahuan tradisional, hingga produk kreatif.
Paralel dengan hal itu, Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan 1993-1998 Nunus Supardi menunjukkan bahwa kebudayaan berperan besar dalam membangun bangsa. Untuk membangun keindonesiaan yang berkarakter, tentu saja kita perlu memaksimalkan kebudayaan.
Pada awal kemerdekaan, urusan kebudayaan didekatkan dengan pendidikan dalam satu kementerian. Pada tahun 2000, kebudayaan dipisah dengan pendidikan dan digabung dengan bidang pariwisata. Bidang kebudayaan disatukan kembali dengan pendidikan pada tahun 2011. Nomenklatur Kementerian Pendidikan Nasional pun berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Penyatuan kembali dua bidang ini menunjukkan eksperimen menggabungkan kebudayaan dengan pariwisata tidak berhasil. Namun, ketika disatukan dengan pendidikan, posisi kebudayaan itu ternyata selalu terpinggirkan.
Direktur Perfilman, Musik dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) Ahmad Mahendra juga menyambut positif wacana pembentukan Kementerian Kebudayaan. Ia mengatakan keberadaan institusi independen dalam bentuk kementerian yang berdiri sendiri, dengan kewenangan dan anggaran dinilai penting. Tujuannya agar visi kebudayaan yang kuat dan berkelanjutan dapat terwujud. Dengan adanya kementerian yang (hanya) fokus pada kebudayaan, proses birokrasi dapat dipercepat dan keputusan dapat dibuat lebih efektif sehingga laju pertumbuhan kebudayaan di Indonesia bisa lebih cepat.
Mahendra mencontohkan di bidang perfilman, keberadaan Kementerian Kebudayaan akan mempermudah koordinasi dengan para sineas dari awal hingga akhir proses pembuatan film. Menurutnya situasi saat ini, para sineas seringkali harus berurusan dengan banyak instansi berbeda untuk mengurus perizinan, pendanaan, distribusi, hingga promosi film.
Yang menggembirakan, Komisi X DPR menyambut hangat wacana pembentukan Kementerian Kebudayaan. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengatakan bahwa kalau wacana Kementerian Kebudayaan perlu dirumuskan secara detail. Termasuk juga menguraikan apa saja mandatori Kementerian Kebudayaan nantinya. Kementerian Kebudayaan harus dapat merespons tantangan masa depan. Hal ini diperlukan agar visi menjadikan Indonesia maju bisa terwujud, khususnya lewat akar tradisi bangsa Indonesia.
Wacana Kementerian Kebudayaan muncul saat debat calon presiden (capres) 2024. Wacana ini diutarakan oleh capres paslon 01, Anies Baswedan, yang kemudian disetujui oleh capres Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo. Anies ingin keberadaan Kementerian Kebudayaan menjadi fasilitator seluruh kegiatan kebudayaan Indonesia. Anies yang sebelumnya bertugas sebagai Gubernur DKI Jakarta mengatakan Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata DKI Jakarta terpisah menjadi dua instansi berbeda. Kementerian Kebudayaan perlu dilahirkan agar pengelolaan kebudayaan di Indonesia bisa berjalan taktis, strategis, dan fokus.
(Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah)