SEMARANG, Berita Merdeka Online – Sekretaris Komite Penyelidikan dan Pemberantasan Korupsi Kolusi Nepotisme (KP2KKN) Jawa Tengah, Ronny Maryanto angkat bicara mengenai dugaan pungli Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMA/SMK Negeri Jawa Tengah (Jateng). Mengenai dugaan pungli dalam PPDB di Jateng itu, ia mengatakan, telah mencari dan berulang mencari pengadaan PPDB Online di Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Provinsi Jateng, namun tidak menemukannya.
“Dikarenakan pengadaan PPDB Online tidak ditemukan di SIRUP Disdikbud Jateng yang jadi pertanyaan, pengadaannya melalui apa. Padahal PPDB online ini sistemnya di selenggarakan oleh Disdikbud Jateng,” ujarnya, Selasa (30/7/2024).
Ronny menyampaikan, menurut Keputusan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Nomor 47/M/2023, disitu disebutkan pada huruf F point 1, bahwa pemerintah daerah harus sistem aplikasi PPDB online dengan anggaran yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Kadisdikbud Jateng mengatakan anggaran PPDB dari BOP sehingga anggaran itu dari APBN, padahal PPDB di Kota Semarang saja hanya menganggarkan sekitar Rp 300 juta untuk pengelolaan sistem PPDB.
“Apakah memang betul APBD Provinsi Jawa Tengah tidak menyediakan anggaran terkait aplikasi PPDB ini. Dan menjadi pertanyaan kami, kenapa pemerintah Provinsi khususnya Dinas Pendidikan ini tidak terbuka terkait pengelolaan ataupun aplikasi PPDB,” tandasnya.
Menanggapi pungutan sebesar Rp 4,4 juta, Ronny meragukan itu untuk membayar penyediaan jasa aplikasi PPDB itu. Menurutnya aplikasi yang disediakan di dalam proses pelaksanaan PPDB di Jateng, itu hanya satu aplikasi.
“Tidak per sekolah melaksanakan atau mengadakan aplikasi tersendiri. Jadi satu aplikasi digunakan untuk sekitar 500an sekolah SMA/SMK Negeri di Jateng,” katanya.
Lebih lanjut, Ronny menerangkan sistem aplikasi PPDB itu hanya satu dan dikelola oleh Disdikbud Jateng yang dapat digunakan untuk seluruh sekolah SMA maupun SMK se Jateng. yang menjadi kewenangan Disdikbud Jateng.
“Tentunya ini menjadi sesuatu yang tidak wajar ketika pengelolaan sistem aplikasi ini dibebankan sekolah, harusnya memang dinas pendidikan yang menyediakan sistem tersebut,” terangnya.
Masalahnya, Ronny mengingatkan, apabila BOP peruntukannya tidak ada buat pembiayaan aplikasi PPDB, maka para kepala sekolah yang jumlahnya 500 orang lebih itu akan kesulitan melaporkan penggunaan BOP yang telah diterimanya.
“Salah-salah mereka bisa, saya katakan bisa lho, mereka bisa berurusan dengan aparat penegak hukum. Karena penggunaan anggaran negara yang tidak sesuai peruntukannya bisa jadi temuan BPK,” tuturnya.
Ronny juga mengatakan, mengenai besaran biaya PPDB online yang harus dibayarkan oleh masing-masing sekolah kepada penyedia jasa sebesar Rp 4.4 juta. Sepertinya di e-katalog juga ada yang menawarkan sekitar Rp 200 jt. Dan menjadi tidak wajar ketika ada yang menawarkan hanya Rp 4,4 juta.
“Dikali jumlah sekolahan tingkat atas, SMA & SMK Negeri, terlalu mahal, karena seperti di e-katalog juga ada yang menawarkan harga Rp200 juta lho,” pungkasnya.(day)