SEMARANG, Berita Merdeka Online – Hari-hari ini pemerintah sedang menggodok dan mematangkan Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB). Pengaturan kerukunan beragama/berkepercayaan (KUB) di Indonesia selama ini diatur dalam regulasi setingkat Menteri yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
Ini berarti, pemerintah berupaya meningkatkan pengaturan mengenai KUB, dari PBM menjadi Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (PKUB) yang dikoordinasi oleh Kementerian Agama. Dalam kaitan ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan perkembangan terbaru mengenai penerbitan Perpres) pendirian tersebut. Dia mengatakan Perpres tersebut sudah melalui fase atau tahapan sinkronisasi lintas kementerian dan lembaga. Dia berharap sebelum ada pergantian Presiden, Perpres itu sudah diterbitkan.
Dengan adanya perpres tersebut, apakah Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) secara kelembagaan akan lebih diperkuat menjadi lembaga nonstruktural? Kemungkinan besar demikian. Lembaga nonstruktural adalah lembaga yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan tertentu guna menunjang pelaksanaan fungsi negara dan pemerintah, yang dapat melibatkan unsur-unsur pemerintah, swasta dan masyarakat sipil, serta dibiayai oleh anggaran negara.
Kita tahu, Rakornas FKUB empat tahun lalu dalam salah satu rekomendasinya adalah meminta pemerintah meningkatkan status Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tahun 2006 menjadi Peraturan Presiden. Selain itu, Rakornas FKUB jug merekomendasikan pembentukan FKUB tingkat nasional dan pengembangan FKUB hingga tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. Rakornas juga merekomendasikan pemberian anggaran secara berkelanjutan kepada FKUB di masing-masing daerah. Agaknya rekomendasi tersebut diadopsi dalam rapenpres tersebut.
FKUB sebagai lembaga nonstruktural memang sangat dibutuhkan, karena tugas dan fungsi pemerintah daerah di bidang agama dan kepercayaan harus dibantu suatu lembaga independen. Lembaga nonstruktural, kita tahu, ada yang dibentuk melalui undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden. Lembaga nonstruktural ini bukan kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang pembiayaannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hadirnya lembaga nonstruktural menjadi semacam keniscayaan dalam menjawab kebutuhan praktik ketatanegaraan.
Dalam sistem ketatanegaraan kita, keberadaan lembaga nonstruktural ada yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ada pula yang dibentuk berdasarkan undang-undang, bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan peraturan presiden atau keputusan presiden. Hirarki dan kedudukan lembaga nonstruktural tersebut tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, ada lembaga nonstruktural yang dibentuk berdasarkan peraturan presiden, seperti FKUB ini.
Salah satu perubahan wajah ketatanegaraan Indonesia pascareformasi konstitusi, seperti dikemukakan Denny Indrayana dalam bukunya Negara Antara Ada dan Tiada (2008) adalah lahirnya lembaga negara penunjang atau lembaga nonstruktural yang dalam istilah literatur asing state auxilliary agencies atau independent regulatory agencies. Lembaga nonstruktural menggunakan nomenklatur dewan, badan, lembaga, komisi negara, dan bahkan ada yang bersifat adhoc sebagai satuan tugas atau komite.
Pada prinsipnya tujuan pembentukan dari lembaga-lembaga nonstruktural ini didasarkan untuk mengemban misi khusus karena tugas tersebut tidak berhasil atau tidak mungkin dikerjakan oleh lembaga-lembaga yang ada, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan lain sebagainya. Selain itu, untuk mengambil alih sebagian peran dan fungsi tersebut agar tidak diselewengkan untuk kekuatan politik yang sedang memerintah, seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan lain sebagainya.
Pembentukan FKUB sebagai lembaga nonstruktural dipandang perlu karena memang dibutuhkan. Artinya, eksistensi FKUB dianggap memberikan kemanfaatan yang cukup besar bagi kerukunan umat beragama di Indonesia. Kalau tidak, maka keberadaan FKUB sebagai lembaga nonstruktural justru akan lebih memboroskan anggaran katimbang efektivitas fungsinya untuk sumbangsih bagi upaya kerukunan umat beragama.
Memang, kita memiliki Kementerian Agama. Oleh karena itu, perlu dipertajam tugas dan fungsi pokoknya, sehingga tidak terjadi umpang tindih dengan FKUB. Hal ini untuk menghindari munculnya konflik kewenangan, sehingga keberadaan FKUB sebagai lembaga nonstruktural tidak menjadi pemicu konflik kelembagaan. Jangan sampai pula terjadi keberadaan lembaga nonstruktural justru dijadikan sebagai bahan politisasi dalam mengamankan pemerintahan.
Penulis: Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah