Bengkulu, Beritamerdekaonline.com – Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Bengkulu mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Model Pentahelix dalam Menghadapi Ancaman Non-Militer di Kawasan Wisata Pesisir”. Acara ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mendeteksi dini ancaman non-militer yang berpotensi mengancam kawasan pesisir di Provinsi Bengkulu, seperti bencana alam dan konflik sosial.
Kepala Bidang Kewaspadaan Nasional dan Penanganan Konflik Badan Kesbangpol Provinsi Bengkulu, Henny Kauri, S.Pt., M.M., CRMO., dalam laporannya menyebutkan bahwa kawasan pesisir Bengkulu rentan terhadap ancaman bencana, terutama gempa bumi dan tsunami. Bentuk geografis Bengkulu yang berada di tepi barat Sumatera dengan pantai yang landai menjadikannya wilayah yang rawan terhadap bencana tersebut.
“Gempa bumi dengan tingkat kerusakan yang tinggi dapat membawa dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat pesisir,” ujarnya, di Aula Hotel Adeeva, Kamis pagi (3/10).
Ancaman non-militer, sebagaimana dijelaskan Henny, tidak hanya mencakup bencana alam, tetapi juga termasuk intimidasi dan konflik sosial. Salah satu tantangan yang dihadapi masyarakat pesisir adalah risiko konflik yang mungkin muncul menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Kepala Badan Kesbangpol Provinsi Bengkulu, Jaduliwan, menekankan pentingnya FGD ini sebagai upaya untuk mengumpulkan masukan dari berbagai pihak terkait potensi ancaman yang dihadapi.
“Dengan adanya FGD ini, diharapkan akan ada rekomendasi atau rumusan kebijakan yang dapat diterapkan untuk meminimalisir ancaman, sehingga Provinsi Bengkulu dapat lebih siap menghadapi situasi non-militer yang berpotensi merusak stabilitas daerah,” ujarnya.
FGD ini mengadopsi Model Pentahelix, yang melibatkan lima unsur utama: pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, akademisi, dan media. Dalam sambutannya, Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra Setda Provinsi Bengkulu, Drs. H. Khairil Anwar, M.Si., yang mewakili Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, menekankan bahwa koordinasi antarunsur ini sangat penting untuk keberhasilan penanganan ancaman non-militer.
“Setiap unsur memiliki peran yang sama pentingnya. Tidak ada yang lebih dominan. Pemerintah mungkin memiliki regulasi, tetapi tanpa dukungan dari pelaku usaha, akademisi, masyarakat, dan media, upaya ini tidak akan berjalan optimal,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti potensi wisata pesisir di Provinsi Bengkulu, khususnya kawasan Pantai Panjang, yang menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi dan wisata. Menurutnya, sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha sangat penting untuk memastikan kawasan tersebut dapat berkembang dengan baik dan tetap aman dari berbagai ancaman.
Lebih lanjut, Khairil menegaskan bahwa kawasan pesisir Bengkulu yang memiliki garis pantai sepanjang 525 km dan di 7 kabupaten/kota harus dijaga dengan baik. Wilayah yang luas ini, menurutnya, rentan terhadap berbagai ancaman, baik yang bersifat alamiah maupun sosial.
Dalam FGD ini, turut hadir para akademisi dari Universitas Bengkulu (UNIB), di antaranya Prof. Dr. Kamaludin, SE., M.M., Prof. Dr. Hj. Muhartini Salim, SE., M.M., dan Dr. Praningrum, SE., M.Si., yang memberikan pandangan ilmiah mengenai potensi ancaman serta strategi mitigasi yang dapat diadopsi oleh pemerintah dan masyarakat.
Dengan adanya forum diskusi seperti ini, diharapkan Provinsi Bengkulu dapat lebih tanggap dalam menghadapi ancaman non-militer, terutama yang berkaitan dengan kawasan wisata pesisir.