Jakarta, Beritamerdekaonline.com – Insiden penembakan yang dilakukan Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) terhadap lima pekerja migran Indonesia di perairan Tanjung Rhu, Selangor, Malaysia, pada 24 Januari 2025, memicu gelombang protes. Akibat kejadian ini, satu orang tewas dan empat lainnya mengalami luka-luka.
Tragedi ini memantik amarah publik. Puluhan demonstran di Jakarta mengepung Kedutaan Besar Malaysia, melempari gedung dengan telur, dan menuntut keadilan bagi para korban.
Merespons insiden tersebut, Presiden Prabowo Subianto meminta pemerintah Malaysia melakukan investigasi menyeluruh. Dalam pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Malaysia, Datuk Seri Anwar Ibrahim, Prabowo menegaskan pentingnya penertiban ketenagakerjaan serta penguatan kerja sama lintas sektor untuk mencegah insiden serupa terulang.
Namun, Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan, menilai pernyataan kedua pemimpin itu tidak memberikan solusi konkret atas permasalahan ketenagakerjaan yang kronis antara Indonesia dan Malaysia.
“Kedua pemimpin ini hanya berbicara normatif. Sadarkah mereka bahwa sekitar 70 persen pekerja migran Indonesia di Malaysia masih bekerja secara ilegal? Empati dan penertiban saja tidak cukup. Tanpa reformasi sistemik, masalah ini akan terus menjadi bom waktu yang membebani kedua negara,” ujar Aznil Tan dalam pernyataannya kepada media di Jakarta, Jumat (31/1).
Baca Juga: Tembak WNI di Malaysia, Migrant Watch: Solusi Kedua Pemimpin Negara Dinilai Tidak Konkret
Lebih lanjut, ia mengkritik pendekatan pemerintah yang cenderung reaktif, seperti pemadam kebakaran yang hanya bertindak ketika tragedi terjadi, tanpa menyentuh akar masalah.
“Prabowo dan Anwar Ibrahim harus segera mengakhiri tragedi kemanusiaan ini. Negara tidak boleh hanya hadir saat ada insiden. Harus ada tata kelola yang adaptif, cepat, mudah, dan melindungi pekerja migran agar sistem berjalan lebih harmonis,” tegasnya.
Aznil Tan juga menyoroti tingginya angka pekerja ilegal akibat sistem perekrutan yang rumit dan berbiaya tinggi. Menurutnya, jika lebih dari 70 persen tenaga kerja masuk jalur non-prosedural, maka sistem yang ada jelas gagal dan butuh reformasi total.
“Sistem yang sehat seharusnya hanya memiliki maksimal 5 persen penyimpangan. Jika lebih dari itu, artinya sistemnya cacat. Evaluasi dan ungkapan keprihatinan saja tidak cukup. Jika tidak ada perubahan mendasar, tragedi ini akan terus terjadi, bahkan sampai kiamat,” pungkasnya.***