SEMARANG, Berita Merdeka Online – Teguh Margo Utomo, ayah kandung dari M Husyein Al Iman (23), warga Tambak Mulyo RT 04 RW 15, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang melaporkan PT MAS ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Tengah, Senin (10/2/2025).
Laporan tersebut dilayangkan karena PT MAS perusahaan outsourcing tempat M Husyein Al Iman bekerja tersebut diduga tidak mendaftarkan BPJS Ketenagakerjaan meskipun Husyein telah bekerja selama 11 bulan.
Ketidakpatuhan perusahaan ini terbukti fatal ketika Husyein yang ditempatkan bekerja di perusahaan mebel kawasan Industri Candi Gatot Subroto Blok 10.A Ngaliyan, Kota Semarang mengalami kecelakaan kerja hingga membuatnya lumpuh sampai sekarang.
Teguh menerangkan bahwa pada Senin, 2 Desember 2024, anaknya mengalami kecelakaan kerja saat membuka gerbang di tempat kerjanya di kawasan industri tersebut.
“Gerbang tiba-tiba roboh dan menimpa punggungnya. Husyein langsung dilarikan ke Rumah Sakit Permata Medika Ngaliyan, lalu dirujuk ke RS Kariadi. Dokter menyatakan bahwa kondisinya serius dan harus menjalani operasi,” ujar Teguh didampingi Amadela Andra Dynalaida dari LBH Semarang saat berada di kantor Disnakertrans Jateng kepada sejumlah wartawan.
Setelah selesai menjalani perawatan di rumah sakit, kata Teguh, barulah perusahaan mendaftarkan Husyein ke BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sayangnya, kondisi Husyein kini tidak memungkinkan untuk kembali bekerja karena mengalami kelumpuhan.
Teguh menuntut agar hak anaknya dipenuhi sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Ia meminta agar seluruh biaya pengobatan ditanggung hingga Husyein sembuh serta pembayaran gaji selama satu tahun, sebagaimana yang diatur dalam peraturan ketenagakerjaan tetap diberikan.
Namun, PT MAS kata Teguh, justru menawarkan kompensasi Rp15 juta dan gaji Rp2 juta per bulan. Tawaran itu ditolak oleh Teguh karena dirasa jauh di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Semarang. Selain itu, kompensasi tersebut mengandung klausul bahwa keluarga tidak boleh melakukan tuntutan hukum lebih lanjut.
“Saya menolak karena gaji UMK Semarang tidak 2 juta, selain itu saya disuruh menerima kompensasi 15 juta itu saya tolak karena di dalam kompensasi itu tertulis selanjutnya tidak akan melakukan tuntutan hukum dalam bentuk apapun,” ujarnya.

Pendampingan Hukum
Amadela Andra Dynalaida dari LBH Semarang yang mendampingi keluarga korban menekankan bahwa berdasarkan hukum, pekerja yang mengalami sakit atau kecelakaan kerja tidak bisa langsung di-PHK.
“Selama 12 bulan pertama, perusahaan wajib membayar gaji pekerja dengan skema 100% selama 4 bulan pertama, 75% untuk 4 bulan berikutnya, lalu 50% dan 25% di bulan-bulan terakhir,” jelasnya.
Selain itu, Husyein juga berhak mendapatkan biaya transportasi ke rumah sakit, perawatan hingga sembuh, serta rehabilitasi berupa alat bantu untuk mendukung aktivitasnya.
“Biaya seperti perban dan popok seharusnya ditanggung perusahaan, bukan keluarga korban,” tambah Amadela.
Pengawas dari Disnakertrans Jateng, lanjut Amadela, menyatakan akan berupaya menyelesaikan kasus ini secara kekeluargaan.
Namun, LBH Semarang mengingatkan bahwa konsep penyelesaian kekeluargaan tidak boleh mengabaikan hak-hak pekerja yang telah diatur dalam undang-undang.
“Jika dihitung berdasarkan aturan yang berlaku, Husyein seharusnya menerima kompensasi hingga Rp200 juta. Tawaran Rp15 juta itu bahkan tidak mencapai 10% dari haknya,” pungkas Amadela.
Efendi Susanto, Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jawa Tengah, menegaskan bahwa setiap perusahaan wajib mendaftarkan karyawannya ke BPJS Ketenagakerjaan.
Jika ditemukan pelanggaran, pihaknya akan melakukan klarifikasi dan menetapkan keputusan terkait hak-hak tenaga kerja, khususnya dalam kasus kecelakaan kerja.
Terkait dengan kecelakaan kerja yang dialami M Husyein Al Iman, Efendi mengatakan bahwa Disnakertrans Jateng akan segera memanggil PT MAS untuk dimintai klarifikasi.
“Jika pekerja belum didaftarkan saat kecelakaan terjadi, kami sebagai pengawas ketenagakerjaan akan membuat penetapan untuk memastikan hak-hak tenaga kerja tetap terpenuhi,” ujar Efendi.
Ia juga mengingatkan bahwa perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban ini dapat dikenakan sanksi administratif.
Bahkan, sanksi terberat yang bisa dijatuhkan adalah pembekuan usaha serta pencabutan izin operasional.
“Kami mengutamakan klarifikasi terlebih dahulu. Setelah menerima informasi dari pekerja yang menjadi korban, kami juga akan meminta keterangan dari pihak perusahaan, termasuk dari perusahaan outsourcing yang mempekerjakannya,” pungkas Efendi. (lim)
kawal sampai tuntas
Diikutkan pun juga tidak serta merta di cover diberikan biaya spt yg diatur dlm uu naker,harus tetap dibayar selama krywn sakit sampai sembuh tp krywn tdk diberi uang gaji dr bpjs tiap bulan.sedangkan perusahaan outsourc itu bila ada naker yg sakit atau kecelakaan maka user lgs minta naker pengganti,dimana iuran bpjs dlm kontrak ya diberikan pd naker pengganti.dan itu sdh ditetapkan didalam peraturan perusahaan yg di sahkan oleh disnaker wilayah dan dijelaskan dlm pkwt dgn karyawan.semua wajib memahami
ini naker harus aktif juga,memantau apakah otsorsing yang lain,patuh juga dalam peraturan yang berlaku saya yakin, ada beberapa otsorsing yang tidak patuh dalam peraturan.