SEMARANG, Berita Merdeka Online – Ada yang menarik mengenai penetapan awal Ramadhan 2025 / 1446 Hijriyah, dimana kemungkinan awal Ramadhan antara pemerintah dan Nahdhatul Ulama (NU) akan berbeda.
Kepala Planetarium dan Observatorium UIN Walisongo Semarang, Ahmad Syifaul Anam, mengatakan bahwa hal ini dikarenakan perbedaan metode penghitungan awal Ramadhan oleh pemerintah, NU, dan Muhammadiyah.
“Muhammadiyah menggunakan hisab (perhitungan astronomi) murni, sementara NU dan pemerintah masih mempertimbangkan rukyat untuk menentukan awal Ramadhan,” jelas Anam,saat ditemui pada Kamis (27/2).
Di Indonesia, melalui Kementerian Agama dalam menentukan hilal menggunakan Imkan Rukyat atau batas minimal hilal yang dapat dilihat yaitu ketinggian hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.

Menurut kriteria MABIMS, hampir diseluruh wilayah Indonesia, saat ini dibawah kriteria imkan, kecuali di Sabang dan Aceh.
“Tapi jika di Sabang dan Aceh tidak terlihat hilal, asalkan sudah ada yang sesuai dengan kriteria Imkan Rukyat, maka pemerintah tetap menggelar hari pertama Ramadhan pada tanggal 1 Maret,” tandasnya.
Akan tetapi jika di Sabang dan Aceh tidak ada satupun yang melaporkan melihat hilal, maka NU akan mundur 1 hari.
“Karena walaupun sudah memenuhi Imkan Rukyat akan tetapi di Sabang dan Aceh tidak ada yang melaporkan melihat hilal, maka NU akan mengistikmalkan atau menggenapkan bulan Syaban menjadi 30 hari. NU akan berpuasa pada hari Minggu tanggal 2 Maret,” tuturnya.
Untuk itu Pemerintah, NU dan Muhammadiyah mengambil kebijakan mengirimkan ahli rukyat ke Aceh untuk mengamati hilal.
“Ketika di Sabang dan Aceh yang memenuhi kriteria Imkan, ahli rukyat ada yang dapat melihat hilal. Maka pemerintah, NU dan Muhammadiyah akan memulai 1 Ramadhan bersama-sama,” tandasnya.(day)