Penulis:
NAMA: FIQRUL FHADIL
JURUSAN: ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ANDALAS
Berita Merdeka Online — Era kepemimpinan kepala daerah 2024–2029, dinamika komunikasi politik dan pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan signifikan. Di tengah kuatnya arus digitalisasi, media sosial telah menjadi alat utama bagi kepala daerah untuk membangun citra, pemaparan program kerja, bahkan merespons keluhan masyarakat secara langsung. Namun, hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah kehadiran mereka di media sosial benar-benar untuk melayani rakyat, ataukah hanya panggung pencitraan politik?
Era Kepala Daerah Digital
Pemilihan kepala daerah serentak 2024 melahirkan wajah-wajah baru yang sebagian besar berasal dari generasi muda atau politisi yang melek teknologi. Misalnya, laporan dari Hootsuite dan We Are Social mencatat bahwa pada tahun 2024, Indonesia memiliki lebih dari 167 juta pengguna aktif media sosial, menjadikannya salah satu negara dengan jumlah pengguna tertinggi di dunia. Platform seperti WhatsApp, Facebook, Instagram, TikTok, dan Telegram menjadi saluran utama untuk kampanye politik dalam Pilkada Serentak 2024, terutama dalam menjangkau pemilih muda yang mendominasi pengguna media sosial di Indonesia.
Fenomena ini menunjukkan bahwa eksistensi digital kini menjadi modal penting dalam politik lokal. Bahkan, beberapa calon kepala daerah yang terpilih terbukti lebih populer di media sosial daripada di media arus utama, membuktikan kekuatan narasi visual dan personal dalam menarik simpati publik.
Namun, tantangannya adalah bagaimana membedakan antara komunikasi pelayanan dan komunikasi pencitraan. Ketika Whats App, Instagram, TikTok, dan Twitter/X dipenuhi dengan unggahan kepala daerah sedang meninjau proyek, berbagi aktivitas pribadi, atau memberikan motivasi, publik patut mengkritisi: sejauh mana aktivitas itu mencerminkan kinerja substantif, bukan hanya show belaka?
Pelayanan vs Pencitraan
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) menekankan pentingnya inovasi pelayanan publik yang fokus pada kebutuhan masyarakat. Kemenpan RB telah membentuk 54 hub yang terdiri dari 18 pemerintah pusat dan 36 pemerintah daerah untuk mengakselerasi pengembangan inovasi. Hingga September 2024, tercatat 2.928 inovasi pelayanan publik yang tersebar di Indonesia, dengan 876 inovasi dari LAN. Kebanyakan dilakukan dengan adanya rekaman video agar dapat diperlihatkan ke Masyarakat umum. Politik modern saat ini menunjukkan bahwa media sosial tidak hanya bertujuan untuk menyampaikan program kerja tetapi juga menciptakan citra yang kuat untuk menarik simpati. Kepala daerah berlomba lomba melaksanakan program kerja, sidak kantor pemda, hingga masuk gorong gorong yang dibungkus dalam suatu video dalam media sosial, entah maksudnya agar dianggap bekerja, entah emang niatnya yang ingin memperlihatkan
Perubahan Sistem Birokrasi?
Dalam dua dekade terakhir, transformasi digital telah mengubah wajah birokrasi di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Namun, sejak kemunculan media sosial sebagai panggung politik baru terutama sejak 2014 dan semakin masif pada periode kepala daerah 2024–2029 birokrasi tidak hanya mengalami digitalisasi layanan, tetapi juga transformasi cara kerja akibat tekanan citra dan ekspektasi publik digital. Banyaknya pola perubahan system birokrasi yang berubah disaat maraknya transformasi digital ini, misalnya saja dari pengaduan yang berprosedur menjadi instan. Sekarang apapun itu, lapor nya ke admin tiktok Gerindra, atau ke Kang Dedi Mulyadi. Hal itu karena proses nya yang cepat dan tidak memerlukan banyak proses.
Untungnya dari perubahan ini adalah masalah masalah yang tertimbun bisa viral dengan cepat dan diketahui oleh Masyarakat.
Kesimpulan
Era kepemimpinan kepala daerah 2024–2029 menandai babak baru dalam komunikasi pemerintahan yang semakin terhubung dengan dunia digital, khususnya melalui media sosial.
Kehadiran kepala daerah di platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter/X memang menunjukkan adaptasi terhadap perkembangan zaman serta kebutuhan akan komunikasi yang cepat dan langsung dengan masyarakat. Namun, di balik kemajuan ini, muncul dilema antara substansi pelayanan publik dan pencitraan politik.
Transformasi digital juga mendorong perubahan pola birokrasi, dari sistem yang kaku dan prosedural menjadi lebih instan dan responsif karena tekanan ekspektasi publik di media sosial. Meskipun hal ini mempercepat proses pengaduan dan distribusi informasi, tetap diperlukan tata kelola yang baik agar media sosial tidak semata menjadi panggung pencitraan, melainkan benar-benar menjadi sarana transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah.
Dengan demikian, tantangan utama bagi kepala daerah saat ini adalah menjaga keseimbangan antara membangun komunikasi digital yang efektif, tetap melayani publik secara nyata, serta tidak terjebak dalam logika pencitraan yang semu. (KN)