×
Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by whitelisting our website.

Majelis Pendidikan Aceh Terancam Vakum, DPR Aceh Disorot

Peserta Musyawarah Besar MPA Aceh 2024 di Hotel Hermes Banda Aceh sedang mengikuti proses pemilihan anggota MPA.
Foto: Jamaluddin

Banda Aceh, Berita Merdeka Online – Majelis Pendidikan Aceh (MPA) terancam vakum karena lambannya DPR Aceh, khususnya Komisi VII yang membidangi Keistimewaan dan Kekhususan Aceh, dalam memproses pengesahan lima nama calon pimpinan MPA periode 2024–2029. Padahal, tahapan seleksi telah berjalan sesuai mekanisme yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2022, produk hukum yang merupakan inisiatif DPR Aceh sendiri.

Qanun tersebut memperketat seleksi anggota MPA dengan sistem berjenjang—dari penjaringan, penyaringan, hingga Musyawarah Besar (Mubes). Hasil Mubes yang digelar 25 April 2024 di Banda Aceh telah menghasilkan 21 nama, yang kemudian diserahkan Gubernur Aceh kepada DPR Aceh. Tugas Komisi VII adalah menyaring lima nama terbaik dan menyerahkannya kembali ke gubernur. Namun hingga kini, proses itu belum dilanjutkan.

Kondisi stagnan ini memicu kritik tajam dari kalangan akademisi, termasuk Dr. Jalaluddin, M.Pd., Dekan FKIP Universitas Serambi Mekkah sekaligus peserta Mubes. Ia menyebut DPR Aceh inkonsisten terhadap regulasi yang mereka buat sendiri.

“Ironis. Qanun baru ini lebih terbuka dan partisipatif, namun justru diabaikan. Jika ada keraguan terhadap panitia seleksi atau tim penguji, seharusnya DPR Aceh bisa memanggil mereka, bukan membiarkan lembaga keistimewaan terbengkalai,” tegasnya, Rabu (7/5) di Banda Aceh.

Dr. Jalaluddin juga mengkritik munculnya isu bahwa DPR Aceh akan melakukan rekrutmen ulang secara sepihak, padahal hal itu tidak diatur dalam qanun. Ia menyebut tindakan tersebut bisa merusak kredibilitas kelembagaan MPA dan merugikan pendidikan Aceh secara keseluruhan.

Peserta Musyawarah Besar MPA Aceh 2024 di Hotel Hermes Banda Aceh sedang mengikuti proses pemilihan anggota MPA.
Foto: Jamaluddin

Panitia dan tim penguji kompetensi terdiri dari tokoh-tokoh akademik ternama, seperti Prof. Dr. Abdi A. Wahab, Prof. Dr. Nazamuddin, Prof. Dr. T. Zulfikar, Prof. Dr. Sofyan A. Gani, dan Prof. Dr. Ir. Syamsul Rizal. Jalaluddin menegaskan, jika hasil kerja mereka diragukan, maka alangkah baiknya DPR Aceh membuka ruang klarifikasi secara terbuka, bukan membiarkan prasangka tumbuh.

Lebih jauh, ia menyarankan agar dalam RPJM Aceh ke depan, konsep keistimewaan benar-benar dievaluasi. “Kalau tak ada kepercayaan terhadap lembaga keistimewaan, lebih baik dibubarkan saja. Yang menikmati keistimewaan hanyalah ASN di sekretariat,” katanya.

Sebagai informasi, Mubes diikuti 44 pemilik suara dari unsur pendidikan seperti PGRI, IGI, PGMI, MPU, Kemenag, Dinas Pendidikan, tokoh perempuan, budaya, serta akademisi seperti Prof. Dr. Yusni Saby dan Mawardi Ismail. Sidang dipimpin Dr. Edwar M. Nur dan disaksikan Wakil Ketua MPU Prof. Muhibbuththabary.

Kondisi ini menjadi sinyal bahaya. Bila stagnasi berlanjut, Aceh berisiko kehilangan arah dalam pengelolaan pendidikan. Qanun 7/2022 telah memberikan kewenangan strategis kepada MPA, termasuk memberikan rekomendasi terhadap dokumen anggaran SKPA/Biro yang mengurus pendidikan. Maka, keterlambatan ini bisa melemahkan sistem pendidikan Aceh secara menyeluruh. (Rahman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *