SEMARANG, Berita Merdeka Online – Sengketa kepemilikan tanah seluas 674 meter persegi di kawasan Kota Lama Semarang kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, F. Soleh Dahlan (FSD), pemilik jaringan Hotel Dafam Group, melaporkan balik pemilik Gedung Spiegel, SDK, ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah atas dugaan pemalsuan dokumen.
Laporan tersebut menjadi respons atas tindakan SDK yang lebih dulu melaporkan FSD ke Polrestabes Semarang terkait tuduhan serupa, yakni dugaan pemalsuan surat di Jalan Jalak No. 5 dan 7, kawasan Kota Lama, Kecamatan Semarang Utara.
“Pelaporan ini kami ajukan atas dugaan pemalsuan dokumen, termasuk surat pernyataan tidak sengketa dan penguasaan fisik yang kami nilai tidak sah,” ucap kuasa hukum FSD, Adi Nurachman, dalam konferensi pers di Lika Liku Resto Semarang, Kamis (12/6/2025).
Tak hanya SDK, laporan yang dilayangkan ke Ditreskrimum Polda Jateng pada 11 Agustus 2024 itu juga mencantumkan nama dua pihak lainnya, yakni KT dan MH selaku likuidator dari NV. Thio Tjoe Pian, perusahaan yang sebelumnya memiliki hak atas tanah tersebut.
Menurut Adi, kliennya tidak pernah mengklaim sebagai pemilik tanah, melainkan hanya sebagai penyewa yang sudah menguasai dan merawat bangunan bersejarah itu selama lebih dari empat dekade.
Ia menekankan bahwa Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah tersebut telah berakhir sejak 1980 dan tidak diperpanjang, sehingga statusnya kembali menjadi tanah negara.
Adi memaparkan, permasalahan tersebut mencuat berawal dari sengketa kepemilikan atas sebidang tanah seluas 674 meter persegi di Jalan Jalak No. 5 dan 7, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang.
Kliennya yang telah menempati lahan tersebut selama 42 tahun mengajukan permohonan sertifikat hak atas tanah, namun ditolak karena munculnya sertifikat milik orang lain.
Berdasarkan keterangan dari kuasa hukum pihak pelapor, kliennya telah menempati, merawat, dan mengelola tanah bekas Hak Guna Bangunan (HGB) No. 191 yang berakhir pada 24 September 1980, sejak tahun 1980 hingga 2022 secara terus menerus. Tanah tersebut sebelumnya tidak bersertifikat kembali pasca HGB berakhir.
Pada 3 Januari 2022, melalui kuasa hukumnya, Wijaya Dahlan, kliennya tersebut mengajukan permohonan hak atas tanah ke Kantor Pertanahan Kota Semarang.
Proses administrasi dilakukan secara lengkap, termasuk berbagai surat pernyataan dari pemohon dan saksi Ketua RT dan RW setempat, yang menyatakan bahwa tanah tidak dalam sengketa, bukan aset pemerintah, tidak dijadikan jaminan hutang, serta belum pernah disertifikatkan sebelumnya.
Sebagai bagian dari proses, permohonan tersebut memerlukan pengesahan dan tanda tangan dari Lurah Purwodinatan.
Pada 21 Juni 2022, Wijaya Dahlan mendatangi kantor kelurahan untuk meminta tanda tangan dan stempel atas dokumen permohonan.
Keesokan harinya, Lurah Purwodinatan bersama Babinsa dan Babinkamtibmas melakukan pengecekan lapangan ke lokasi tanah tersebut.
Namun, dalam pengecekan tersebut, hadir pula seorang warga bernama SDK yang mengklaim memiliki sertifikat HGB No. 01173/Purwodinatan tertanggal 22 April 2021 atas tanah yang sama.
Sertifikat tersebut mencantumkan luas tanah sebesar 1.095 meter persegi, yang mencakup lokasi di Jalan Jalak No. 5 dan 7, lokasi yang selama ini dikuasai oleh kliennya.
Menindaklanjuti hal itu, pada 28 Juni 2022, klien melalui kuasanya mengirim surat permohonan lanjutan kepada Lurah untuk tetap memproses permohonan hak atas tanah.
Namun, melalui surat balasan bernomor 590/46/VI/2022 tertanggal 29 Juni 2022, Lurah menyatakan tidak dapat memenuhi permohonan tersebut karena tanah tersebut sudah tercatat dalam Sertifikat HGB No. 01173 atas nama SDK.
Atas keputusan tersebut, kliennya merasa dirugikan karena telah menempati tanah tersebut selama lebih dari empat dekade namun tidak dapat memperoleh legalitas atas kepemilikannya.
Kasus ini kemudian dibawa ke ranah hukum hingga akhirnya Sertifikat HGB No. 01173 atas nama SDK pada April 2021, kemudian dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang.
Putusan tersebut diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Surabaya, dan kasasi SDK pun ditolak Mahkamah Agung RI pada 4 Oktober 2023, menjadikan putusan itu inkracht.
Putusan tersebut menjadi dasar hukum bagi klien FSD untuk mengajukan permohonan eksekusi, yang dilaksanakan pada 15 Agustus 2024.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, SDK melaporkan dugaan pemalsuan surat ke Polrestabes Semarang, yang kini berujung pada laporan balik dari pihak FSD.
Adi Nurachman juga menyoroti kejanggalan dalam akta jual beli antara SDK dan pihak likuidator NV. Thio Tjoe Pian, yang dinilai cacat hukum karena dilakukan saat status tanah masih bersengketa dan tercatat sebagai tanah negara.
Lebih lanjut, surat pernyataan penguasaan tanah yang dibuat SDK pada 1 Desember 2020 dinilai sebagai bentuk dugaan manipulasi dokumen, mengingat fakta persidangan menunjukkan tanah itu telah dikuasai secara fisik oleh FSD sejak 1980.
“Seharusnya, bila merasa dirugikan, SDK menggugat balik penjual atau likuidator, bukan melaporkan klien kami yang memiliki bukti penguasaan dan perawatan lahan selama puluhan tahun,” ujar Adi.
Sementara itu, Kuasa hukum dari SDK, Osward Febby Lawalata, menanggapi tegas laporan yang dilayangkan oleh Soleh Dahlan terkait sengketa lahan di Semarang.
Dalam keterangannya kepada media, Osward menyebut laporan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan bahkan dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap kliennya, SDK, serta pemegang hak eks-HGB atas nama Nv. Thio Tjoe Pian.
“Kenapa kami sebut tidak berdasar? Karena Soleh Dahlan tidak memiliki legal standing untuk membuat laporan. Ia adalah penyewa yang justru beritikad buruk karena ingin memiliki tanah tersebut dengan cara-cara yang melawan hukum,” ungkap Osward.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa Soleh Dahlan saat ini bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polrestabes Semarang karena diduga membuat surat palsu dalam rangka memperkuat klaimnya atas tanah tersebut.
“Ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang penyewa justru ingin memiliki lahan yang ia sewa? Kalau ini diteruskan, bisa menjadi preseden buruk dalam praktik hukum pertanahan di Indonesia. Orang tidak perlu lagi beli rumah atau tanah, cukup sewa saja, lalu tidak bayar, kemudian cari celah legalitas di pengadilan,” tegas Osward.
Ia juga mengingatkan agar penyidik di Polda Jawa Tengah dapat bersikap objektif dan netral dalam menangani kasus ini.
Menurutnya, sebagai pembeli yang sah, SDK justru harus mendapatkan perlindungan hukum, bukan dijadikan pihak yang seolah-olah bersalah.
“Kami berharap Polda Jateng melihat kasus ini secara utuh dan objektif. Jangan sampai justru membela pihak penyewa yang beritikad buruk dan sedang berupaya menguasai tanah serta bangunan yang secara hukum masih merupakan hak pihak lain,” pungkasnya. (lim)