×
Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by whitelisting our website.

TP3 Kota Semarang Tuai Kontroversi: Kepentingan Politik atau Percepatan Pembangunan?

Ketua LSM Satrio Pandawa Lima Jawa Tengah, Didik Agus Riyanto

SEMARANG, Berita Merdeka Online – Kota Semarang kembali menjadi sorotan publik, bukan karena prestasi, tetapi karena polemik yang mencuat setelah pelantikan Wali Kota baru, Agustina Wilujeng Pramestuti, pada 20 Februari 2025 lalu.

Ketua LSM Satrio Pandawa Lima, Didik Agus Riyanto, bahkan menyebut, “Semarang gelap, bukan Semarang hebat”, sebagai sindiran terhadap kondisi terkini kota yang dinilai belum menunjukkan arah perubahan yang signifikan.

Hanya berselang lima hari setelah dilantik, Wali Kota Agustina mengeluarkan Peraturan Wali Kota (Perwal) No. 10 Tahun 2025 tentang pembentukan Tim Percepatan dan Pengendalian Pembangunan (TP3).

Keputusan ini memantik reaksi karena empat orang yang ditunjuk sebagai anggota TP3 merupakan mantan tim suksesnya saat Pilkada, dan kini mendapatkan fasilitas setara pejabat tinggi, termasuk gaji di atas kepala dinas dan mobil dinas.

Anggaran ini dibebankan kepada Bappeda Kota Semarang, memicu kekhawatiran akan pemborosan APBD.

“Apakah ini nanti tidak menjadi beban buat Bapeda selama lima tahun kedepan karena Bapeda harus mengeluarkan anggaran di atas 200 juta dan imbasnya nanti akan ada kenaikan pajak dan rakyat yang terdampak,” kata Didik dalam keterangannya, Selasa (1/7/2025).

Dari aspek hukum, keberadaan TP3 dinilai problematik. Pembentukan tim ini semestinya mengacu pada peraturan perundang-undangan yang jelas, seperti UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

“Di sini juga ada potensi pelanggaran jika TP3 melakukan intervensi administratif atau mengambil alih kewenangan struktural birokrasi tanpa dasar hukum, ini melampaui batas wewenang,” ujarnya.

Apalagi bila tidak tercantum dalam RPJMD, maka posisinya menjadi inkonstitusional secara perencanaan.

Dari sisi tata kelola pemerintahan, transparansi dan akuntabilitas TP3 juga menjadi sorotan.

Jika mekanisme pengangkatan hingga pelaporan kerja tim tidak melalui prosedur terbuka, hal itu jelas bertentangan dengan prinsip good governance.

“Belum aspek Sosialnya akan meningkatnya Ketegangan di internal Pemerintah. Kehadiran TP3 yang dianggap arogan memicu keresahan ASN, birokrat senior, dan pihak internal Pemkot yang merasa dilewati atau tidak dihargai,” ucap Didik.

Kritik juga datang dari aspek sosial dan politik. Kepercayaan masyarakat terhadap Wali Kota tergerus karena dianggap tidak mampu mengendalikan timnya sendiri.

Jika TP3 tidak memiliki pemahaman terhadap kultur birokrasi lokal, maka diskoneksi sosial dan resistensi internal sangat mungkin terjadi.

“Ini akan berdampak dalam aspek politik. Citra politik Wali Kota memburuk. Kesan bahwa Wali Kota “dikendalikan” oleh TP3 menimbulkan persepsi lemahnya kendali politik dan kepemimpinan, ancaman Ketidakstabilan Politik Lokal, tekanan dari tokoh masyarakat, ormas, dan mantan birokrat bisa berubah menjadi gerakan sosial atau politik yang lebih besar,” terangnya.

Didik mengungkapkan, solusi dari aspek hukum masalah ini adalah audit legalitas dan fungsi TP3 dengan melakukan review hukum terhadap dasar pembentukan, kewenangan, dan kinerja TP3. Bentuk tim independen yang terdiri dari akademisi hukum, BPKP, atau Inspektorat untuk menilai urgensi dan dampak hukumnya.

“Jika terbukti terjadi pelampauan kewenangan, Wali Kota harus mencabut atau merevisi keputusan pembentukan TP3. Dialog Terbuka dengan Tokoh Masyarakat dan ASN. Fasilitasi forum diskusi atau dialog kebijakan antara Wali Kota, TP3, ASN, dan tokoh masyarakat guna membuka ruang evaluasi bersama,” ujarnya.

Dalam hal ini perkuat etika kerja dan komunikasi TP3 dan Wali Kota harus memberikan arahan agar TP3 tidak menunjukkan sikap arogansi, menjaga etika birokrasi, dan melibatkan stakeholder lokal.

Wali Kota perlu mengembalikan kepercayaan politik dengan menegaskan bahwa semua kebijakan tetap dalam koridor hukum dan etika pemerintahan. melakukan klarifikasi resmi dan terbuka di DPRD untuk menjelaskan maksud dan posisi TP3 agar tidak menimbulkan asumsi buruk lebih luas.

Evaluasi jabatan strategis jika sampai terbukti ada konflik kepentingan atau pelanggaran etik, maka TP3 perlu dirombak atau dibubarkan untuk menjaga stabilitas politik daerah, seharusnya kehadiran TP3 menjadi katalis pembangunan, bukan sumber ketegangan.

“Maka, langkah evaluasi menyeluruh, pembenahan komunikasi, serta tindakan tegas dan bijaksana dari Wali Kota Semarang menjadi sangat penting demi menyelamatkan integritas pemerintahan dan menjaga kepercayaan publik. Jika tidak, maka gelombang penolakan bisa menjadi bumerang politik di masa mendatang,” pungkas Didik. (dar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *