Bengkulu Utara, Berita Merdeka Online — Praktisi hukum Kristiatmo, SH., MH. menduga ada praktik lobi-lobi dan tawar-menawar terkait kebijakan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Bengkulu Utara yang menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia Perwakilan Bengkulu pada 2024 ini.
Dugaan tersebut muncul setelah TAPD Bengkulu Utara tetap menerbitkan kebijakan pembayaran honorarium staf teknis, meski sebelumnya BPK sudah melayangkan teguran resmi pada 2023 agar pembayaran honor tersebut dihentikan.
Baca Juga:
Terakhir Setor 27 Juli, TGR Honor Staf Teknis di Bengkulu Utara Baru 60% Setor
“Dasarnya sudah jelas, ini sudah jadi temuan BPK dan bahkan ditegur sejak 2023. Tapi nyatanya di 2024 honor staf teknis tetap saja dibayarkan. Kalau bukan karena lobi-lobi atau tawar-menawar, lalu apa alasannya?” ujar Kristiatmo kepada awak media, Jumat (18/07/2025).
Kristiatmo menilai, jika ada temuan BPK yang sudah diingatkan melalui surat resmi, semestinya Pemkab Bengkulu Utara segera memperbaiki kebijakan agar tidak merugikan keuangan daerah. Namun faktanya, kebijakan serupa justru tetap dijalankan melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) baru.
“Apapun alasannya, jika hukum sudah bicara maka harus dilaksanakan. Kalau teguran diabaikan, maka ini jelas perbuatan melawan hukum,” tegasnya.
Baca Juga:
“Disetujui TAPD, Pembayaran Uang Honor di Sekretariat Pemkab dan OPD Bengkulu Utara Jadi Temuan BPK”
Kristiatmo juga mempertanyakan peran Aparat Penegak Hukum (APH) di Bengkulu Utara yang terkesan bungkam dan belum menunjukkan tindakan tegas terkait temuan BPK tersebut.
Praktisi hukum yang juga sedang menangani sejumlah kasus di Medan ini menambahkan, masyarakat Bengkulu Utara sudah semakin paham dan kritis menilai kinerja pemerintah daerah. Apalagi, era keterbukaan informasi saat ini menuntut semua pihak lebih transparan.
Baca Juga:
“Jadi Temuan BPK RI Kinerja TAPD Bengkulu Utara Dengan Anggaran Hampir Satu Miliar Dipertanyakan”
“Masyarakat punya hak penuh untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Publik pasti akan berspekulasi, apakah benar ada kepentingan di balik kebijakan itu? Jangan sampai kebijakan ini hanya menguntungkan segelintir orang tapi merugikan masyarakat,” ungkap Kristiatmo.
Dari kacamata hukum, Kristiatmo menjelaskan bahwa mekanisme penganggaran daerah melibatkan TAPD, DPRD, hingga verifikasi di tingkat provinsi sebelum ditetapkan dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA). Setelah itu, barulah dibuat SK pengelolaan keuangan yang menjadi dasar pencairan honorarium.
“Jelas secara sistem ini pelanggaran. Jika BPK sudah menganggap itu temuan, artinya ada kerugian negara. Kalau tetap diulang, TAPD wajib bertanggung jawab. APH seharusnya bertindak tegas karena ini sudah masuk kategori perbuatan melawan hukum,” tutupnya. (Yapp)