Oleh: Wahyu Hamijaya

SEMARANG, Berita Merdeka Online– Banjir besar yang kembali melanda Kota Semarang pada akhir Oktober 2025 menimbulkan pertanyaan publik, sampai kapan ibu kota Jawa Tengah ini harus berhadapan dengan genangan air yang berulang?.

Lebih jauh, muncul pula suara-suara dari kalangan warga dan pemerhati lingkungan bahwa jajaran Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang belum menunjukkan tanggung jawab moral, seperti mungkin hanya sekedar meminta maaf atas bencana tahunan yang tak kunjung usai.

Di tengah derasnya kritik dan keresahan warga, Wali Kota Semarang Agustina Wilujeng Pramestuti tetap menegaskan bahwa penanganan banjir masih menjadi prioritas utama pemerintahannya.

Ia mengakui tantangan besar yang dihadapi, mulai dari keterbatasan infrastruktur hingga curah hujan ekstrem.

“Tidak mungkin banjir hilang dalam sekejap, tetapi sedikit demi sedikit, dengan sinergi bersama, dampaknya bisa kita kurangi,” ujar Agustina saat meninjau kawasan Kaligawe dan Muktiharjo Kidul, 27 Oktober 2025.

Fokus “Upaya Teknis”

Dalam berbagai kesempatan resmi, Agustina Wilujeng menyampaikan sejumlah langkah yang sedang dan akan dilakukan untuk menanggulangi banjir.

Ia menyoroti pentingnya kesiapsiagaan pompa air, perbaikan saluran drainase, serta kerja lintas instansi dalam memperkuat sistem pengendalian air di wilayah utara dan timur Semarang.

Penjelasan singkatnya dalam data pemberitaan kerap berputar di sekitar “upaya”, bukan “realitas”.

Berikut rangkuman pernyataannya dalam urutan waktu yang diperoleh penulis:

● 10 Maret 2025, saat meninjau lokasi banjir di Gebangsari dan Rumah Pompa Kali Tenggang, Agustina mengatakan bahwa penanganan banjir akan menjadi prioritas utama.

“Kami akan bekerja semaksimal mungkin. Setelah proses perubahan anggaran selesai, kami akan mendeteksi infrastruktur yang paling utama untuk mendukung antisipasi kiriman air dari atas ke Genuk,” terang Agustina Wilujeng.

● 22 Mei 2025, ketika sejumlah jalan utama tergenang, ia kembali turun langsung ke lapangan.

“Kami temukan banyak saluran tersumbat oleh sampah. Kami minta masyarakat ikut menjaga kebersihan saluran air agar genangan cepat surut,” ujarnya saat meninjau rumah pompa Kampung Kali.

● 11 September 2025, dalam apel kesiapsiagaan bencana di Balai Kota, ia menegaskan kesiapan jajarannya.

“Kami sudah menyiapkan berbagai upaya penanganan, mulai dari pengecekan pompa, koordinasi dengan BBWS, hingga pembentukan forum pengurangan risiko bencana (FPRB).”

● 26-27 Oktober 2025, saat banjir besar melanda Kaligawe, ia menegaskan kembali langkah lapangan yang dilakukan Pemkot.

“Kami bergerak untuk memastikan pompa-pompa air berfungsi optimal dan tidak ada kendala teknis di lapangan,” kata Agustina.

Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan konsistensi fokus Wali Kota pada sisi teknis penanganan, tanpa menyinggung tanggung jawab moral atau permintaan maaf kepada warga terdampak.

Sejarah Banjir Mematikan di Kota Semarang

Banjir bukanlah hal baru bagi Semarang. Data resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan arsip pemerintah mencatat sejumlah peristiwa besar yang menjadi titik sejarah kelam bagi kota ini.

Salah satu yang paling tragis terjadi pada 25 Januari 1990, ketika banjir bandang di kawasan Sampangan dan Banjir Kanal Barat menewaskan sekitar 197 orang.

Peristiwa itu dikenang sebagai banjir paling mematikan dalam sejarah modern Semarang, dengan ratusan rumah hanyut dan kerusakan parah di sekitar sungai utama kota.

Memasuki era 2000-an, banjir besar kembali beberapa kali melumpuhkan aktivitas warga.

Tahun 2005, hujan lebat berjam-jam menenggelamkan sebagian wilayah kota hingga kedalaman satu meter.

Tahun 2022, banjir rob besar di Pelabuhan Tanjung Emas akibat jebolnya tanggul menyebabkan kerugian miliaran rupiah dan menghentikan operasional pelabuhan selama berhari-hari.

Tahun 2024, menurut BPBD Kota Semarang, sekitar 158.000 jiwa terdampak banjir akibat hujan ekstrem yang meluap dari Sungai Tenggang dan Banjir Kanal Timur.

Wali Kota Semarang saat meninjau lokasi banjir beberapa hari lalu

Sementara banjir Oktober 2025 yang baru terjadi, berdasarkan laporan BPBD, menyentuh 25 kelurahan di 5 kecamatan dengan 65.418 jiwa terdampak, tiga di antaranya meninggal dunia.

Dari deretan angka tersebut, terlihat bahwa meskipun intensitas bencana berbeda setiap tahun, dampak sosial dan ekonomi banjir di Semarang tetap dan berulang.

Tidak Ada Kata “Maaf”, Hanya “Upaya”?

Menariknya, dalam seluruh pernyataan resmi yang dirilis sepanjang 2025, tidak ditemukan satu pun kalimat langsung dari Wali Kota Semarang dari beberapa periode yang berisi permintaan maaf kepada warganya.

Sebaliknya, ia menekankan pentingnya kolaborasi dan kesabaran warga menghadapi kondisi alam dan infrastruktur yang masih dalam proses pembenahan.

“Bantuan datang silih berganti, termasuk dari para donatur dan relawan. Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu masyarakat Genuk dan sekitarnya,” ucap Wali Kota Agustina saat mendampingi Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi dalam peninjauan kondisi banjir di Kantor Kecamatan Genuk, Senin, 27 Oktober 2025.

Sikap ini menunjukkan pola komunikasi pemerintahan yang lebih menonjolkan penjelasan teknis hingga upaya korektif, ketimbang tanggung jawab moral secara terbuka.

Meski demikian, bagi sebagian warga, langkah simbolis seperti permintaan maaf publik bisa menjadi bentuk penghormatan, empati atas penderitaan yang dialami.

Padahal bukan tentang salah pengertian kepada masyarakat, namun dapat berfungsi seperti jembatan antara fakta historis dan sikap pemerintah.

Sejarah mencatat, banjir Semarang telah menelan korban jiwa, menenggelamkan rumah, mengubah wajah kota pesisir ini selama puluhan tahun.

Namun hingga kini, kata “maaf” belum pernah terdengar dari Balai Kota yang terus menjanjikan “upaya demi upaya” setiap kali air kembali menggenang di Kota Semarang.

Apakah kata “maaf” tersebut masih penting dalam bagian tanggung jawab pemerintahan ?.