JAKARTA, beritamerdekaonline.com – Aliansi Jurnalis Independen Jakarta dan Lembaga Bantuan Hukum Pers mencatat ada tujuh jurnalis menjadi korban kekerasan anggota Polri dalam unjuk rasa tolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) di Jakarta, 8 Oktober 2020 lalu.
“Jumlah ini bisa bertambah dan kami masih terus menelusuri dan memverifikasi perkara,” ujar Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani dalam keterangan tertulisnya, Jumat (9/10/2020).
Seperti dilansir dari beberapa media, dalam keterangan yang ditandatangani Ketua AJI Jakarta Asnil Bambani, Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung, dan Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin itu dikatakan, Jurnalis CNNIndonesia.com Tohirin, mengaku kepalanya dipukul dan ponselnya dihancurkan polisi.
Ketika itu ia memotret dan merekam demonstran yang ditangkap polisi kemudian dibogem di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat.
Polisi tak percaya kesaksiannya, lantas merampas dan memeriksa galeri ponselnya. Polisi marah ketika melihat foto aparat memiting demonstran. Akibatnya, gawai yang ia gunakan sebagai alat liputan itu dibanting hingga hancur, maka seluruh data liputannya turut rusak.
“Saya diinterogasi, dimarahi. Beberapa kali kepala saya dipukul, beruntung saya pakai helm,” kata Thohirin, yang mengklaim telah menunjukkan kartu pers dan rompi bertuliskan ‘Pers’ miliknya ke aparat.
Peter Rotti, wartawan Suara.com yang meliput di daerah Thamrin, juga jadi sasaran polisi. Ia merekam polisi yang diduga mengeroyok demonstran. Sontak terduga seorang polisi berpakaian sipil serba hitam dan anggota Brimob menghampirinya. Aparat meminta kamera pemuda itu, namun Peter menolak lantaran bahwa ia jurnalis yang resmi meliput.
Polisi menolak pengakuan Peter, lantas merampas kameranya. Peter diseret, dipukul, dan ditendang gerombolan polisi itu, hingga tangan dan pelipisnya memar. “Akhirnya kamera saya dikembalikan, tapi mereka ambil kartu memorinya,” ujar Peter.
Ponco Sulaksono, jurnalis dari merahputih.com turut jadi sasaran amuk polisi. Dia ‘hilang’ beberapa jam, sebelum akhirnya diketahui kalau ia dibekuk aparat.
Ponco diketahui ditahan di Polda Metro Jaya. Aldi, jurnalis Radar Depok sempat merekam momen Ponco keluar dari mobil tahanan. Aldi bersitegang dengan polisi, nahas ia turut diciduk.
Polisi tak segan pula menangkap pers mahasiswa yang turut meliput aksi. Berthy Johnry, (anggota Lembaga Pers Mahasiswa Diamma Universitas Prof. Dr. Moestopo Jakarta), Syarifah, Amalia (anggota Perslima Universitas Pendidikan Indonesia Bandung).
Kemudian Ajeng Putri, Dharmajati, Muhammad Ahsan (anggota Pers Mahasiswa Gema Politeknik Negeri Jakarta) bernasib sama. Mereka ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya bersama massa aksi lainnya.
AJI Jakarta dan LBH Pers menegaskan penganiayaan oleh polisi serta menghalangi kerja jurnalis merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi (Pasal 4 UU Pers); dan setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta (Pasal 18 ayat 1). Artinya, anggota kepolisian yang melanggar UU tersebut pun dapat dipidanakan.
Kekerasan terhadap jurnalis yang dilakukan kepolisian kerap berulang. Aksi #ReformasiDikorupsi pun aparat mengganyang wartawan yang meliput. Namun hingga hari ini perkara itu tidak rampung meski telah melaporkan kasus itu ke polisi.
“Sanksi etik Polri tak cukup untuk menghukum para terduga kekerasan. Oktober tahun 2019, kami telah melaporkan 4 kasus kekerasan (2 laporan pidana dan 2 di Propam), namun tak satupun yang berakhir di meja pengadilan,” tegasnya.
Meski wartawan telah melengkapkan diri dengan atribut pers dan identitas pembeda di lokasi demonstrasi, tetap saja jadi sasaran amuk polisi.
Dalih polisi ‘kartu pers wartawan tak kelihatan’, maupun rencana penggunaan Pita Merah-Putih yang pernah diusulkan Polri sebagai pembeda, hingga kini tak terealisasi.
Berdasar peristiwa-peristiwa tersebut, AJI Jakarta dan LBH Pers menyatakan sikap:
1. Polri wajib mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan personel kepolisian terhadap jurnalis dalam peliputan unjuk rasa tolak UU Cipta Kerja; serta menindaklanjuti pelaporan kasus serupa yang pernah dibuat di tahun-tahun sebelumnya.
2. Mengimbau pimpinan redaksi ikut memberikan pendampingan hukum kepada jurnalisnya yang menjadi korban kekerasan aparat sebagai bentuk pertanggungjawaban.
3. Mengimbau para jurnalis korban kekerasan pun intimidasi aparat agar berani melaporkan kasusnya, serta memperkuat solidaritas sesama jurnalis.
4. Mendesak Kapolri membebaskan jurnalis dan jurnalis pers mahasiswa yang ditahan. (RED)