YOGYAKARTA, Berita Merdeka Online – Teater Eska, kelompok teater kampus di lingkungan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, merayakan HUT ke-45 tahun dengan hajatan bertajuk “Meneroka Spirit Profetik”. Perayaan ini berlangsung selama sembilan hari, mulai 10 hingga 18 Oktober 2025, di Gelanggang Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga.
Hajatan tersebut menjadi momentum reflektif perjalanan Teater Eska yang berdiri sejak 1980, sekaligus ajakan untuk menelusuri akar kesenian yang berakar pada semangat spiritual dan sosial.
Selama perayaan, berbagai kegiatan seperti pembacaan naskah, diskusi, pertunjukan musik, dan pementasan teater akan digelar sebagai ruang dialog lintas generasi antara seniman, akademisi, dan masyarakat.
Produser hajatan 45 tahun Teater Eska, Khuluqul Karim, mengatakan perayaan kali ini tidak sekadar mengenang sejarah, tetapi juga menegaskan peran Teater Eska sebagai ruang eksperimentasi seni pertunjukan Islam.
“Kami menempatkan Teater Eska sebagai laboratorium seni yang terus bereksperimen, menggugat yang mapan, meneguhkan iman, dan merumuskan kemungkinan baru dalam dunia seni pertunjukan,” ujarnya pada Rabu (8/10).
Rangkaian acara dibuka dengan Eska Dramatic Reading pada 10–12 Oktober, menghadirkan enam naskah produksi Teater Eska yang dibacakan oleh komunitas teater kampus dari berbagai daerah. Di antaranya Unstrat UNY, Teater Satoesh UIN Kudus, Teater Ada UTY, KSK Wadas UIN Walisongo, HMJ Teater ISI Yogyakarta, dan Teater Pandora Sastra Inggris UIN Sunan Kalijaga.
Tanggal 13 Oktober akan digelar Dialog Buku “Naskah Drama Produksi Teater Eska” bersama penulis dan sastrawan Raudal Tanjung Banua serta Hamdy Salad. Pada malam harinya, pembukaan resmi hajatan ditandai dengan pertunjukan Wayang Mikael: “Papat Kiblat Limo Pancer” oleh Kaji Habeb dan Divisi Musik Eska.
Agenda berikutnya, Eska Wicara (14–16 Oktober), menampilkan tiga tema utama: Peran Perempuan Muslim dalam Ekosistem Seni, Geliat Teater Kampus dari Kacamata Pejabat Kampus, dan Meneroka Spirit Profetik Melalui Laku Kesenian.
Narasumber yang akan hadir antara lain Prof. Alimatul Qibtiyah, Prof. Noorhaidi Hasan, Aning Ayu Kusumawati, Bernando J. Sujibto, M. Yaser Arafat, dan Hamdy Salad.
Secara paralel, Diskusi Profetik juga digelar, menghadirkan seniman dan penulis seperti Zuhdi Sang, Farid Mustofa, Aly D. Musyrifa, Bustan Basir Maras, Shohifur Ridho’i, dan Kaji Habeb. Tiap malam, Senandung Malam Sastra menghadirkan pembacaan karya dan musik dari berbagai generasi seniman.
Pada 17 Oktober, publik diajak menyimak Bentang Layar: “Enigma. Interval yang Ganjil”, yang menayangkan dokumentasi pementasan Teater Eska. Hajatan ditutup pada 18 Oktober dengan pertunjukan musik “Mesat”, prosesi tumpengan, dan ramah tamah keluarga besar Teater Eska Indonesia.
Tema besar “Meneroka Spirit Profetik” diusung sebagai refleksi atas perjalanan panjang Teater Eska dalam menghidupkan nilai-nilai spiritual, etis, dan sosial melalui kesenian.
Menurut panitia, “profetik” tidak dimaknai sekadar simbol religius, melainkan kesadaran hidup yang menumbuhkan daya batin dan kemanusiaan di tengah perubahan zaman.
Sejak berdiri pada 1980, Teater Eska dikenal sebagai kelompok teater kampus yang memadukan seni, filsafat, dan spiritualitas. Lahir dari tradisi akademik UIN Sunan Kalijaga, kelompok ini menumbuhkan konsep teater profetik—yakni teater yang berpihak pada kemanusiaan dan pembebasan.
Kini, memasuki usia 45 tahun, Teater Eska menegaskan komitmennya untuk terus berkarya dan bertransformasi.
“Hajatan ini bukan penutup, melainkan awal babak baru untuk melanjutkan misi teater profetik yang mencerahkan dan memerdekakan,” tutur Khuluqul Karim.(day)
Tinggalkan Balasan