Palangka Raya, BeritaMerdekaOnline.com. — Seiring pesatnya perkembangan teknologi informasi dan munculnya ribuan media online, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 18 ayat (1), dinilai tak lagi relevan dengan era digital. Pasal ini mengatur sanksi pidana bagi pihak yang menghambat kemerdekaan pers, namun kini dinilai perlu uji materi (Judicial Review) agar selaras dengan perkembangan hukum modern.
Pasal 18 ayat (1) berbunyi:
“Setiap orang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan (3) dipidana dengan penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.”
Menurut Advokat senior Haruman Supono, SE, SH, MH, AAIJ, yang juga Ketua DPD Peradi Bersatu Kalteng, ketentuan pidana dalam pasal tersebut sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi dan keterbukaan informasi publik.

“Sejak diberlakukannya UU Keterbukaan Informasi Publik Tahun 2014 dan UU HAM, ketentuan sanksi dalam UU Pers sudah tidak relevan lagi. Perlu direvisi agar sesuai perkembangan zaman,” jelas Haruman, Kamis (30/10/2025) di Palangka Raya.
Sebagai praktisi hukum dan mantan wartawan senior, Haruman menegaskan bahwa profesi jurnalis adalah profesi mulia yang berperan penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Menurutnya, pers tidak hanya menyampaikan berita, tetapi juga berperan sebagai pendidik publik melalui informasi yang akurat dan berimbang.
“Pers adalah pilar bangsa yang menjaga transparansi, akuntabilitas, dan edukasi publik. Jangan sampai aturan yang ketinggalan zaman menghambat kemerdekaan pers,” ujarnya.
Ia juga mengimbau masyarakat untuk bijak menggunakan media sosial, terutama saat membagikan produk jurnalistik. Media harus menjalankan fungsinya secara edukatif dan berimbang, bukan sebagai alat provokasi atau penyebar hoaks.
Lebih lanjut, Haruman menilai bahwa Judicial Review Pasal 18 ayat (1) perlu segera diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Alasannya, sanksi pidana dalam UU Pers saat ini terlalu ringan dan tidak mencerminkan perlindungan hukum yang tegas bagi insan pers.
“Kami mengusulkan agar ancaman pidana bagi pelanggaran kemerdekaan pers diperberat menjadi maksimal 9 tahun penjara dan denda minimal Rp5 miliar, supaya ada efek jera bagi pihak yang mencoba menghalangi kerja jurnalistik,” tegasnya.
Haruman juga berharap Dewan Pers, organisasi wartawan, serta seluruh pelaku usaha media dapat bersatu memperjuangkan uji materi ini sebagai langkah adaptif menghadapi era digital dan konvergensi media.
UU Pers 40/1999 memang menjadi dasar kuat kebebasan pers di Indonesia. Namun, dua dekade kemudian, dunia media telah berubah drastis. Maka, tuntutan judicial review terhadap Pasal 18 ayat (1) menjadi relevan agar hukum pers di Indonesia lebih modern, adaptif, dan melindungi jurnalis dari kriminalisasi. (Aex)




Tinggalkan Balasan