×
Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by whitelisting our website.

Dua Wajah Tabut Bengkulu, Antara Sakralitas dan Festivalisasi

Minggu, Berita Merdeka Online – 6 Juli 2025. Perayaan Tabut 2025 di Provinsi Bengkulu kembali menjadi sorotan publik. Di tengah kemeriahan festival yang digelar pemerintah daerah di kawasan Sport Center Pantai Panjang, ada satu narasi penting yang juga perlu didengar dan dipahami: keberadaan komunitas Tabut Sakral yang tetap setia menjaga tradisi leluhur secara mandiri di Kampung Cina, Bengkulu.

Komunitas Tabut Sakral Bengkulu menyatakan dengan tegas bahwa mereka tidak tergabung dalam Festival Tabut yang diselenggarakan oleh pemerintah. Bukan karena keengganan atau penolakan atas kemajuan, tetapi karena mereka memegang teguh warisan budaya yang bersifat ritual dan spiritual. Menurut mereka, Tabut bukan sekadar pertunjukan budaya yang meriah, melainkan bagian dari tradisi keagamaan yang sarat makna dan nilai.

 

“Kami dari dulu melaksanakan Tabut di Kampung Cina. Ini bukan soal ikut-ikutan festival, tapi soal menjaga kemurnian tradisi. Biaya kami tanggung sendiri, dan kami tidak ingin memindahkan nilai-nilai sakral ke ruang panggung hiburan,” ujar salah satu tokoh budayawan yang enggan disebutkan namanya, namun diakui sebagai narasumber valid.

Sakralitas yang Terpinggirkan?

Perbedaan antara Tabut Sakral dan Tabut Festival menjadi simbol dari dilema pelestarian budaya di era modern. Di satu sisi, Festival Tabut yang digelar pemerintah membawa manfaat besar dalam hal promosi pariwisata, perputaran ekonomi, dan identitas daerah. Bahkan, tahun ini Tabut Bengkulu dicanangkan menjadi event bertaraf internasional. Sebuah pencapaian yang patut diapresiasi.

Namun di sisi lain, transformasi budaya sakral menjadi pertunjukan massal juga membawa risiko tersendiri. Ketika nilai spiritual diubah menjadi tontonan, ketika doa-doa leluhur dikemas dalam jadwal pertunjukan, ada kekhawatiran akan tergerusnya nilai-nilai asli yang diwariskan turun-temurun.

Komunitas Tabut Sakral di Kampung Cina adalah pengingat bahwa akar budaya tidak boleh dicabut hanya karena alasan promosi dan ekonomi. Mereka tetap menjaga ritual seperti Mengambil Tanah, Duduk Penja, Arak Penja, dan Tabut Tebuang secara tertutup dan sesuai ajaran leluhur Syekh Burhanuddin (Imam Senggolo). Bagi mereka, menjaga keaslian lebih penting dari popularitas.

Perlukah Tabut Dipisahkan?

Fenomena dua kubu Tabut—satu yang festivalis dan satu yang sakral—sebenarnya tidak perlu dianggap sebagai konflik, melainkan sebagai realitas budaya yang kompleks. Pemerintah provinsi memiliki tujuan baik untuk mengangkat Bengkulu ke panggung dunia melalui budaya lokal. Namun, pelibatan komunitas asli harus menjadi bagian dari proses, bukan dikalahkan oleh agenda besar.

Dialog perlu dibuka antara pemerintah dan komunitas sakral agar ke depannya tidak ada kesan marginalisasi terhadap pelaku asli budaya. Pemerintah seharusnya memfasilitasi, bukan mengarahkan. Perayaan Tabut bisa tetap menjadi festival terbuka untuk umum, tetapi nilai sakralnya harus dihormati. Misalnya, dengan memberikan ruang khusus di festival untuk penjelasan sejarah dan makna asli Tabut, atau bahkan mengakomodasi ritual sakral dalam bentuk pameran tertutup.

Menjaga Keseimbangan Budaya

Tantangan terbesar saat ini bukan memilih antara sakral atau festival, tetapi menemukan titik temu yang adil. Bengkulu memiliki kekayaan budaya yang luar biasa, dan Tabut adalah salah satu identitas paling kuat yang dimiliki daerah ini. Namun, keinginan untuk mendunia harus tetap berpijak pada akar budaya yang autentik.

Jangan sampai dalam upaya memoles budaya untuk konsumsi pariwisata, kita justru kehilangan jiwanya. Tabut bukan sekadar arak-arakan menara, bukan hanya suara gendang dol dan bazar UMKM. Tabut adalah cerita leluhur, spiritualitas, dan ikatan sejarah yang telah hidup ratusan tahun.

Dengan demikian, pemerintah daerah, pelaku budaya, dan masyarakat harus duduk bersama untuk menyusun arah baru Festival Tabut yang inklusif. Festival boleh terus maju, tapi sakralitas jangan dilupakan.

Sebab, tanpa ruh dan makna, sebuah budaya hanya akan menjadi panggung kosong yang cepat dilupakan penonton. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *